Rabu, 07 November 2012

ASAS-ASAS HUKUM POKOK DALAM HUKUM PERJANJIAN

Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak. Dari sejumlah prinsip hukum tersebut perhatian dicurahkan kepada tiga prinsip atau asas utama. Prinsip-prinsip atau asas-asas utama dapat memberikan sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi dasar hukum kontrak. 

Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah: prinsip atau asas konsensualitas di mana persetujuan-persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Pada umumnya persetujuanpersetujuan itu dapat dibuat secara “bebas bentuk” dan dibuat tidaksecara formal melainkan konsensual. 
Asas konsensualitas dalam hukum perdata Indonesia dapat disimpulkan dari Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi pada dasarnya berdasarkan asas konsensualitas maka perjanjian dianggap sudah terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.

Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sehingga merupakan ikatan para pihak satu sama lain. 
Asas kekuatan mengikat dapat ditemukan landasannya dalam ketentuan Pasal 1374 ayat (1) BW (lama) atau Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Di dalam Pasal 1339 KUH Perdata dimasukkan prinsip kekuatan mengikat ini:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang.”

prinsip atau asas kebebasan berkontrak yakni di mana para pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya, selain itu para pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia, antara lain dapat disimpulkan dalam rumusan-rumusan Pasal-pasal 1329, 1332 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Pasal 1332 KUH Perdata menguraikan

bahwa:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

PRESTASI & WANPRESTASI

Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.[1] Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :[2]
1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan 
2. Harus mungkin 
3. Harus diperbolehkan (halal) 
4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur 
5. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan 

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang[3]

Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu: 
  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.
  3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
  4. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.[4]
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut 


[1] Mariam Darus Badrulzaman. 1970. Asas-Asas Hukum Perikatan. Medan: FH USU, hlm. 8. 
[2] Abdulkadir Muhammad,. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bnadung:PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 20. 
[3] Ibid. 
[4] R. Subekti. 1970. Hukum Perjanjian. Cet. II. Jakarta:Pembimbing Masa, hlm. 50.

SYARAT SAH PERJANJIAN

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu: 


a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 
Hukum perjanjian mengenal asas konsensualitas yang memberi arti sepakat atau consensus tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sepakat (Toestemming) artinya kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. 
Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan.[1]

Unsur kesepakatan terdiri dari unsur Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan dan Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Kesepakatan penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori yaitu :[2]

  1. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. 
  2. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 
  3. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. 
  4. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 
b. kecakapan untuk melakukan suatu pengikatan; 
Yang dimaksud dengan cakap adalah sehat pikiran untuk mengadakan/membuat suatu perjanjian. Kewenangan memiliki/ menyandang hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum, karena sejak lahir tidak semua subjek hukum memiliki kewenangan hukum, cakap atau dapat bertindak sendiri. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum.[3]

c. suatu hal tertentu; 
Suatu hal tertentu disini tentang objek perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan 1334 KUHPerdata). Syarat–syarat yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual belinya misalnya luas tanah, letaknya, sertifikat, hak yang melekat. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut: 
  1. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
  2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 
d. suatu sebab yang halal. 
Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 


Catatan Penting :
Syarat pertama dan kedua mengenai subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. 
Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak, namun apabila tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian batal demi hukum, artinya bahwa dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan dari pengadaan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan adalah gagal. Dengan demikian maka tidak adanya dasar untuk saling menuntut didepan hakim. 


[1]Handri Raharjo. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. YogJakarta:Pustaka Yustisia, Yogjakarta, hlm 47. 
[2] Ibid. 

[3] R.Abdoel Djamali. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, hlm. 163.

Selasa, 06 November 2012

TINDAK PIDANA PERBANKAN

Tindak pidana perbankan diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 


Edi Setiadi berpendapat : “Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun bank sebagai sarana. Sedangkan tindak pidana perbankan (banking crime) merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank.[1]

Terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari pasal 46 sampai dengan pasal 50A, dimana ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan menjadi empat macam : 
1. Tindak Pidana Yang Berkaitan dengan Perizinan 
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap, diatur dalam dalam : Pasal 46 UU Perbankan 
ayat (1) 
“Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).” 

ayat (2) 
“ Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya.” 

Pasal 46 UU Perbankan adalah satu-satunya pasal dalam Undang-undang tersebut yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya 

2. Tindak Pidana Yang Berkaitan dengan Rahasia Bank 
Bank memiliki kewajiban untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun, kecuali jika ditentukan lain oleh perundangundangan yang berlaku. Menurut Pasal 1 angka 16 UU Perbankan, yang dimaksud sebagai rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. 

Dari pengertian yuridis tersebut dan berdasarkan penjelasan mengenai Rahasia Bank yang dimuat dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 BAB VII UU Perbankan dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur dari rahasia bank itu sendiri, yaitu sebagai berikut : 
  • Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank. 
  • Hal tersebut diatas adalah wajib dirahasiakan oleh bank, kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku (misalnya patut diduga bahwa data-data yang dimiliki oleh bank tersebut termasuk dalam kategori data milik nasabah yang sedang terlibat perbuatan melawan hukum berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku).
  • Pihak yang wajib merahasiakan rahasia bank adalah pihak bank itu sendiri dan atau pihak terafiliasi, yang dimaksud sebagai pihak terafiliasi adalah sebagai berikut : 
  1.  Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan.
  2. Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk tetap tidak terbatas pada akuntan publik, penilai konsultasi hukum dan konsultasi hukum. 
  4. Para pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, tetapi tidak terbatas pada pemegang saham dan keluarganya,keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi dan keluarga pengurus. 
Apabila kemudian terdapat pihak-pihak yang secara melawan hukum memberikan keterangan yang tergolong sebagai rahasia bank maka terhadap pelaku diberlakukan ketentuan Undang-undang Perbankan, yaitu; 
Pasal 47 
ayat (1) : 
“ Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41A dan pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 

ayat (2) 
“Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan .sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000 (delapan miliar rupiah).” 

Pasal 47 A 
“Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 A dan pasal 44 A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan palingbanyak Rp. 15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).” 

3. Tindak pidana Yang Berkaitan dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank 
Pasal 48 Undang-undang Perbankan ; 
ayat (1) 
“Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” 

ayat (2) 
“Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).” 

4. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank 
Pasal 49 Undang-undang Perbankan ; 
ayat (1) 
“Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja : 
  • Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank 
  • Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak diilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
  • Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).” 
ayat (2) 
“Anggota Dewan Komisaris,Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja: 
  • Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi atau fasilitas kredit dari bank atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank.
  • Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00. (seratus miliar rupiah).” 
Pasal 50 
“Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).” 

Pasal 50A 
“Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).” 


[1] Edi Setiadi dan Yulia Rena. 2010. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 139-140.

PERBARENGAN (CONCURSUS) TINDAK PIDANA

Pengertian Perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.[1] 

Perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI (Pasal 63-71) KUHAP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan 

Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut dengan ajaran, yaitu : 
1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) 
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus  idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang  terberat. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat  diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana  penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281. Dengan sistem absorbsi, maka  diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. 
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana  pokok yang sejenis dan maksismumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan  pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika  dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak  sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana  menurut Pasal 10 KUHP. 
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan  yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan  dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur  secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka  dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan  Pasal 341. 

2. Concursus Realis (Pasal 65-71 KUHP) 
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa  perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu  tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).
Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 
  • Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis,  maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun. 
  • Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan  dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
  • Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem  kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
  • Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan. 
  • Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili  pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.” Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6  tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14  Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka  putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara. Dengan  demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus)-(putusan I) 
3. Perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP) 
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. 
Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah: 

  • harus ada satu keputusan kehendak
  • masing-masing perbuatan harus sejenis 
  • tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. 

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. 
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan  khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. 

Hal demikian dapat disimpulkan sebagaimana gambar berikut ini Abdul Muqtadir Al-haq (pembelajaranhukumindonesia)

[1] Andi Hamzah .2002. Pelajaran Hukum Pidana : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan,Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta:Raja Grafindo Persada, hlm. 109. 

PEMIDANAAN ANAK

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak (LNRI Tahun 1997 No. 3; TLNRI No. 3668), yang dimaksud dengan anak nakal adalah : 

  • Anak yang melakukan tindak pidana, atau 
  • Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu:[1]
  1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ; 
  2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. 
Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.[2]
Di Indonesia sendiri sejak dibentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang tegas tentang batas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa : 
  1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
  2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke siding pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur\tersebut tetapi blm mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke siding anak. 
Namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD 1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil. 

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 yang mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal, yaitu: 
1. Pidana Pokok merupakan pidana utama yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal. Beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu : 
  • Pidana penjara;
  • Pidana kurungan;
  • Pidana denda, atau;
  • Pidana pengawasan, 
2. Pidana Tambahan adalah pidana yang dapat dijatuhkan sebagai tambahan dari pidana pokok yang diterimanya. Selain pidana pokok maka terhadap anak nakal dapat pula dijatuhkan pidana tambahan, berupa :
  • Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau; 
  • Pembayaran ganti rugi. 
Tindakan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk membina dan memberikan pengajaran kepada anak nakal. Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal berdasarkan Pasal 24 UU Pengadilan Anak adalah : 
  • Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
  • Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau; 
  • Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 
Mekanisme penjatuhan pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan ataupun tindakan, dapat dilihat sebagai berikut : 

Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur sebagai berikut: 
  • Pidana penjara yang dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa;
  • Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun; 
  • Apabila anak tersebut belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; 
  • Apabila anak tersebut belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan salah satu tindakan. 
Pasal 27 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dijelaskan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama haruslah ½ dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. 

Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga mengatur mengenai penjatuhan pidana denda bagi anak di mana pidana yang dijatuhkan paling banyak ½ dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa dan apabila pidana denda tidak mampu dibayar oleh anak tersebut maka diganti dengan wajib latihan kerja. 

Mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan bagi anak diatur melalui peraturan pemerintah. Pidana pengawasan bagi anak berdasarkan ketentuan : 
  • Tenggang waktu pidana pengwasan pada anak ialah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun; 
  • Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari hari di rumah anak tersebut dilakukan oleh jaksa; sedangkan pemberian bimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. 
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip penerapan sanksi pidana bagi anak nakal pada dasarnya dirangkum berdasarkan kriteria di bawah ini: 

1. Batas umur anak nakal yang boleh diajukan ke persidangan anak adalah minimal 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 4 ayat (1)). Jadi, selain penggolongan di atas, maka persidangan diajukan ke persidangan dewasa, 

2. Pidana dan tindakan yang dijatuhkan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 22), 

3. Termasuk pula ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, antara lain : 
  • Pidana penjara yang dijatuhkan terhadap anak harus lah paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Berdasarkan Pasal 26 ayat (1)),
  • Apabila diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak diganti dengan ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10 tahun (Berdasarkan Pasal 26 ayat (2)), 
  • Apabila belum mencapai 12 tahun, melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup, maka anak nakal dapat diberikan sanksi tindakan berupa anak tersebut diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) jo Pasal 24 ayat (1) huruf b),
  • Apabila usia anak nakal belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka anak nakal tersebut dijatuhi salah satu tindakan saja ( Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) jo Pasal 24),
  • Mengenai pidana kurungan terhadap anak hanya dapat dijatuhkan paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa (Berdasarkan Pasal 27),
  • Pidana denda yang diberikan kepada anak haruslah paling banyak ½ dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (Berdasarkan Pasal 28 ayat (1)),
  • Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh anak tersebut, maka dapat diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) dan (3)),
  • Selanjutnya mengenai pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun (Berdasarkan Pasal 29 ayat (1)), dan
  • Sanksi terakhir yaitu pidana pengawasan yang dijatuhkan paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun di bawah pengawasan jaksa dan pembimbing kemasyarakatan (Berdasarkan Pasal 30). 

[1]Ika Saimima. Perlindungan Terhadap Anak yang Bekonflik dengan Hukum. 2008. Jurnal: “Kajian Ilmiah Lembaga Peneliti Ubhara Jaya “(Universitas Bhayangkara Jakarta Raya) vol. 9 No. 3 tahun 2008, hlm. 943. 
[2]Maulana Hassan Wadong. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, hlm.24.