Selasa, 16 Oktober 2012

LEASING

Leasing merupakan suatu perjanjian kontrak antara perusahaan (lessor) yang bersedia meminjamkan barang modalnya kepada perusahaan  lain (lessee) yang disertai dengan kesanggupan dari (lessee) tersebut untuk  membayar sejumlah pembayaran berkala. Kegiatan leasing (sewa guna usaha)  diperkenalkan di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1974 yaitu  dengan dikeluarkannya keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri  Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. Kep. 122/MK/IV/2/1997, No.  32/M/SK/1974, No. 30/KPB/5/1974 tanggal 7 Pebruari 1974 mengenai  “Perjanjian Usaha Leasing” sejak tahun 1980 jumlah perusahaan leasing  semakin bertambah dan meningkat dari tahun ke tahun untuk membiayai  penyediaan barang-barang modal. 

Leasing sebagai: “Suatu cara dimana perusahaan bisa menggunakan  suatu aktiva tanpa harus membelinya, dengan kata lain leasing merupakan  suatu bentuk penyewaan dengan jangka waktu tertentu”.[1] Selanjutnya leasing juga didefinisikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam  bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak  opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan  pembayaran secara berkala”.[2]

Adapun pihak-pihak yang bersangkutan dalam transaksi ini yaitu: 
1. Lessor 
Adakah pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari beberapa  perusahaan, disebut juga sebagai investor, equity holders. 
2. Lessee 
Adalah pihak yang menikmati barang tersebut dengan membayar sewa dan mempunyai hak opsi. 
3. Kreditur transaksi leasing ini umumnya terdiri dari bank, insurance  company. 
4. Supplier 
Adalah penjual dan pemilik barang yang disewakan, dapat terdiri dari  perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat. 

[1] Suad Husnan. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan. Edisi Ketiga. Buku Satu. 
Yogyakarta: BPFE, hlm. 35. 
[2] Dahlan Siamat. 1995. Manajemen Lembaga Keuangan. Cetakan Pertama. Jakarta:Intermedia.  Jakarta, hkm. 49

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

Tindak pidana penggelapan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, yang menentukan sebagai berikut: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Ketentuan Pasal 372 KUHP diawali dengan kata “barangsiapa” yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana penggelapan. Tindak pidana penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP tersebut  di atas di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai  berikut: 
a. unsur subyektif : dengan sengaja; 
b. unsur obyektif : 
- menguasai secara melawan hukum; 
- suatu benda; 
- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; 
- berada padanya bukan karena kejahatan.[1]

Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”,  merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak  pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut:  “Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu  barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya  milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada  padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.[2] Jadi  kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan  sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang  dilarang dari perbuatannya. 

Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki  secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum  dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:  Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.[3]Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum. 

Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”,  menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :  Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti  uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain bendabenda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.[4]Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi pemiliknya”. [5]Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya. 

Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.[6]

Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu”.[7]


[1] Lamintang. 1989. Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. 
Bandung: Sinar Baruh, hlm. 105.
[2] Sianturi. 1983. Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni, hlm. 
622. 
[3] Ibid
[4] Sugandhi. 1980. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya:Usaha Nasional, hlm. 376. 
[5] Sianturi. Op. Cit., hlm. 593 
[6] Ibid, hlm. 625 
[7] Lamintang. Op. Cit., hlm. 121

HIERAKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia kita mengenal banyak jenis peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan yang mempunyai wewenang membuat perundang-undangan.antara lain, Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memuat tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang–undangan sebagai berikut:
  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden; dan
  5. Peraturan Daerah .
Penjelasan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di atas adalah sebagai berikut : Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya yaitu Undang-Undang yang kedudukannya secara hierarki sejajar dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang.

UU No 10 Tahun 2004 dalam Pasal 1 Angka 3 menyatakan Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Pasal 1 Angka 4 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dan Pasal 1 Angka 5 menyatakan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang- Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang- Undang. Secara yuridis konstitusional tidak satupun Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan dan/atau ditetapkan oleh Presiden di luar perintah dari suatu Undang-Undang. Pasal 1 Angka 8 UU No 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Ketentuan tersebut mirip dengan Peraturan Pemerintah. Namun keduanya berbeda pada proses pembentukannya. Peraturan Pemerintah tidak dibuat dan disusun atas inisiatif dan prakarsa Presiden sendiri melainkan untuk melaksanakan perintah Undang-Undang.

Peraturan Presiden yang dibuat oleh Presiden mengandung dua makna. Pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh Presiden atas UU No 10 Tahun 2004 dalam Pasal 1 Angka 3 menyatakan  Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang  dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan  bersama Presiden. Sedangkan Pasal 1 Angka 4 menyatakan bahwa  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan  Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal  ikhwal kegentingan yang memaksa. Dan Pasal 1 Angka 5  menyatakan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah adalah  Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden  untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 

Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang-  Undang. Secara yuridis konstitusional tidak satupun Peraturan  Pemerintah yang dikeluarkan dan/atau ditetapkan oleh Presiden di  luar perintah dari suatu Undang-Undang.[1] Pasal 1 Angka 8 UU No 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa  Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang  dibuat oleh Presiden. Ketentuan tersebut mirip dengan Peraturan  Pemerintah. Namun keduanya berbeda pada proses  pembentukannya. Peraturan Pemerintah tidak dibuat dan disusun  atas inisiatif dan prakarsa Presiden sendiri melainkan untuk  melaksanakan perintah Undang-Undang. Peraturan Presiden yang dibuat oleh Presiden mengandung  dua makna. Pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh Presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri untuk melaksanakan Undang-Undang  sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan Pemerintah.  Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk  mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga kedudukannya menjadi jelas berada di bawah  Peraturan Pemerintah.[2]

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-  Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden berlaku  secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan Peraturan  Daerah pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu yang  mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk  mengatur dan mengurus sendiri daerahnya dalam sistem Negara  kesatuan Republik Indonesia.[3]

Pasal 7 ayat (4) UU No 10 Tahun 2004 selain sebagaimana  dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai  kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan  perundang-undangan yang lebih tinggi”. Ketentuan ini menjadi  dasar adanya peraturan perundang-undangan lain yang masuk dan  menjadi bagian hirarkis peraturan perundang-undangan, tetapi  tidak disebutkan secara langsung dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10  tahun 2004. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa,  “jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini  antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis  Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan  Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala  badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk undangundang,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur, Dewan  Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 

[1] B. Hestu Cipto Handoyo. 2008. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. hlm. 110. 
[2] Ibid. hlm, 114.
[3] Ibid. hlm, 118

Rabu, 10 Oktober 2012

PENYIDIKAN

Pengertian penyidikan seperti yang terkandung di dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Ayat ( 2 ) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 Ayat ( 13 ) memuat pemahaman yang sama tentang penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.


Dalam sistem hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 6 Ayat ( 1 a ) disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Kemudian Pasal 7 Ayat ( 1 g ) bahwa karena kewajibannya penyidik memiliki wewenang :
a.  Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.  Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.   Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.  Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.  Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.   Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.  Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Selanjutnya di dalam Pasal 10 Ayat ( 1 ) bahwa dalam melaksanakan kewenangannya penyidik di bantu oleh Penyidik pembantu. Kemudian Pasal 11 juga menyebutkan bahwa Penyidik pembantu memiliki wewenang seperti penyidik kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang mengacu kepada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang mana sesuai pula dengan ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri sebagai penyidik tindak pidana berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalakan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan penyidikan, pihak Kepolisian sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan yang selanjutnya melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Bukti permulaan cukup adalah bukti yang berupa keteranganketerangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara 16 :
1. Laporan Polisi
2. B.A.P di Tempat Kejadian Perkara
3. Keterangan saksi termasuk saksi ahli ( visum et Repertum )
4. Barang bukti

Senin, 08 Oktober 2012

BENTUK HUKUM BANK

Bentuk hukum bank mengacu pada jenis bank itu sendiri. Maksudnya bentuk hukum jenis Bank Umum bentuknya bisa berbeda dengan bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat, tetapi juga mungkin bisa sama. Bentuk hukum bank haruslah jelas karena berkaitan dengan status kekayaan, pengesahan pendirian, pengurus yang berwenang mewakili bank serta pengelolaan dari bank tersebut. Bentuk hukum bank tidak terbatas pada bentuk perseroan terbatas saja, namun juga dimungkinkan bentuk hukum lainnya. 

Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dalam Pasal 21 menyatakan bahwa bentuk hukum bank terdiri atas: 
1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa: 
a. Perseroan Terbatas 
b. Koperasi 
c. Perusahaan Daerah 
2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa: 
a. Perusahaan Daerah 
b. Koperasi 
c. Perseroan Terbatas 
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 
3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya. 

Mengacu kepada UU Perbankan ini, tampak bahwa terdapat 3 (tiga) bentuk hukum bank yang berlaku baik bagi Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Masing-masing ketiga bentuk hukum bank ini memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain yang akan membedakan pula dalam pelaksanaan dalam berkegiatan perbankan. 

Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, menyatakan bahwa, Perusahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. 

Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang mempunyai sifat memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memupuk pendapatan. Ketiga sifat tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat sepanjang tidak termasuk dalam bidang usaha yang diselenggarakan Pemerintah Pusat. Tujuan Perusahaan Daerah adalah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur. 

Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di daerah yang bersangkutan diusahakan oleh Perusahaan Daerah yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh pemerintah dan dipergunakan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat banyak. Dalam mencapai tujuannya, Perusahaan Daerah dapat melakukan kerjasama dengan Perusahaan Negara, Koperasi, maupun swasta. 

Adanya pengaturan mengenai Perusahaan Daerah ini, dilatarbelakangi oleh pelaksanaan program umum pemerintah di bidang ekonomi sebagaimana digariskan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 yang diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960. Adanya program pemerintah kala itu terkait dengan pemberian otonomi yang riil dan luas kepada daerah dengan mengingat kemampuan daerah masing-masing. Perusahaan yang didirikan oleh daerah ini pada umumnya merupakan perusahaan yang tidak mengutamakan mencari keuntungan semata melainkan juga guna terwujudnya fungsi sosial dari perusahaan tersebut terhadap penduduk daerah. 

Prinsip otonomi daerah juga terdapat dalam pemerintahan Indonesia saat ini. Pemerintah Daerah saat ini dapat mengelola daerahnya sendiri. Adapun yang dimaksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adalah upaya memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian, tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara kesinambungan fiscal secara nasional.[1]

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan keadilan.[2] Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain; menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan. 

Dengan demikian, dampak pemberian otonomi daerah ini tidak hanya terjadi pada organisasi atau administratif lembaga pemerintahan daerah saja, akan tetapi berlaku juga pada masyarakat (publik), badan, atau lembaga swasta dalam berbagai bidang. Melihat konsep otonomi daerah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tampak bahwa pelaksanaan otonomi daerah tersebut juga mencakup kegiatan perekonomian. Hal ini karena guna mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, daerah memerlukan adanya sumbersumber keuangan guna menambah penghasilan daerah. Oleh karena itu, pengembangan suatu Perusahaan Daerah sangatlah diperlukan guna pembangunan daerah pada khususnya dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya serta menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Dalam hal ini, bank yang berbentuk hukum Perusahaan Daerah memiliki peran yang sangat penting guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. 

[1] HAW. Widjaja. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, cet. 3. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, hlm. 2 
[2] Ibid, hlm. 7

MEREK

Pengertian
Semakin majunya teknologi informasi dan tranportasi yang sangat pesat pada masa sekarang ini, juga mendorong globalisasi dalam hal Kak Kekayaan Intelektual. Kebutuhan untuk melindungi barang dan jasa sebagai komoditas dagang dari kemungkinan pemalsuan atau persaingan yang tidak wajar, juga berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan untuk memproduksi barang. Hak Kekayaan tersebut tidak terkecuali pula merek. 

Merek adalah bagi sebuah produk barang merupakan hal yang sangat penting, tidak hanya bagi konsumen tapi juga bagi produsen. Pada pendaftaran merek, merek tersebut digunakan untuk mengidentifikasi barang yang diproduksi atau didistribusi oleh suatu perusahaan tertentu dan memberikanhak kepada perusahaan tersebut menggunakan secara eksklusif merek tersebut. Pemilik merek terdaftar memilik hak untuk mencegah pihak lain menggunakan mereknya tanpa izin dari pemilik merek terdaftar tersebut. merek sering merupakan logo yang terkenal dan menjadi komoditas yang sangat bernilai, misalnya Coca Cola dan Michelin. Membangun hubungan antara produk dan usaha serta menciptakan reputasi yang bernilai atau ”nama baik” (goodwill) merupakan dasar dari kebanyakan dunia perdagangan internasional. 

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, ada istilah Merek Dagang, Merek Jasa, dan Merek Kolektif. 
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis. 
Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. 
Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. 

Pengertian-pengertian tadi sangat penting, supaya bila istilah-istilah tersebut muncul dalam naskah perundang-undangan, maka penafsirannya harus seraga, yaitu berdasakan pengertian yang telah diatur lebih awal dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.[1]

Selain pengertian mengenai istilah merek, ada juga pengertian untuk istilah-istilah lainnya, seperti misalnya istilah: permohonan, pemohon, pemeriksa, kuasa, menteri, Direktorat Jenderal, tanggal penerimaan, Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, hak Prioritas, dan istilah hari. Adapun secara panjang lebar, pengertian dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut : 

a. Permohonan adalah permintaan pendaftaran merek yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. 
b. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan. 
c. Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dengan keputusan menteri, dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan terhadap permohonan pendaftaran merek. 
d. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual 
e. Menteri adalah menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hak kekayaan intelektual, termasuk merek. 
f. Menteri adalah menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hak kekayaan intelektual, termasuk merek. 
g. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri. 
h. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permhonan yang telah memenuhi persyaratan administratif. 
i. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan Permhonan Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang hak kekayaan intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal. 
j. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untukseluruh atau sebagian jenis barang dan / atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. 
k. Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari Negara yang tergabung dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the Word Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di Negara asal merupakan tanggal prioritas di Negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, elama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property. 
l. Hari adalah hari kerja. 
Sebuah merek dapat disebut segbagai “Merek” apabila memenuhi syarat mutlak berupa adanya suatu pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya di sini adalah tanda yang dipakai (sign) tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang yang diproduksi sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya. 

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, disebutkan bahwa: 
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. 
Merek merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan bagian hukum yang berkaitan dengan usaha-usaha kreatif dan investasi dalam usaha yang kreatif. 

Pendaftaran Merek 
Hak Merek merupakan pemberian ekslusif dari Negara, karena hak merek merupakan hak yang sifatnya sangat pribadi. Hak ini diberikan kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Jangka waktunya tertentu, dan dapat diberikan izi pada pihak lain untuk menggunakannya, baik perorangan maupun badan hukum. Izin menggunakan merek pada pihak lain berupa pemberian lisensi, dengan jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara mereka. 

Permohonan pendaftaran merek belum tentu dikabulkan oleh Direktorat Hak Kekayaan Inteletual atau Direktorat Jenderal, karena beberapa hal, yaitu : tidak dapat didaftarkan, atau harus ditolak pendaftarannya. Permohoan merek dikabulkan apabila pemohon merek secara layak dan jujur tanpa niat membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat merugikan pihak lain, atau timbullah kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. 

Permohonan merek tidak dapat dapat didaftarkan apabila: 
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 
b. Tidak memilki daya pembeda; 
c. Telah menjadi milik umum; 
d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. 

Permohonan merek bisa ditolak apabila merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan : 
merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. 
Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan / atau jasa sejenis. 
Indikasi-geografis yang sudah dikenal. 
Permohonan pendaftaran merek harus ditolak apabila merek merupakan atau menyerupai : 
Nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki oleh orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. 
Nama atau singkatan nama, bendera, lambing atau symbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. 
Tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. 

Mengenai permohonan pendaftaran merek, ada syaratnya, yaitu diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal, dan mencantumkan : 
a. Tanggal, bulan, dan tahun; 
b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; 
c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permhonan diajukan melalui kuasa; 
d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; 
e. Nama Negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. 

Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dan dilampiri bukti pembayaran biaya. Permohonan pendaftaran merek, diatur dalam Peraturan Pemerintah, yaitu mengatur mengenai syarat dan tata caranya pendaftaran, yaitu PP Nomor 23 Tahun 1993 tentang Permintaan Pendaftaran Merek. Apabila pemohon tinggal dan berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia, maka permohonan merek harus diajukan melalui kuasanya di Indonesia, yang tempat tingggalnya di Indonesia. 

Permohonan pendaftaran merek dapat diajukan untuk dua kelas atau lebih barang dan / atau jasa, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993, yang mengatur macam-macam Kelas, mulai Kelas 1 sampai dengan Kelas 42. Permohonan pendaftaran merek dapat dilakukan untuk lebih dari satu kelas barang dan / atau jasa sesuai dengan ketentuan Trademark Law Treaty yang diuraikan dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Hal ini berfungsi agar pemohon tidak repot dengan pendaftaran yang terpisah dengan beberapa surat permohonan karena kelas yang berbeda. 

Hak Prioritas 
Dalam hal pendaftaran merek, ada juga permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari Negara yang tergabung dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di Negara asal merupakan tanggal prioritas di Negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Batas waktu permohonan ini paling lama enam bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali diterima di Negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization. Hal ini untuk menampung kepentingan Negara yang hanya menjadi anggota salah satu dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883, dan merupakan wujud kerja sama internasional di bidang hak kekayaan intelektual. 

Bukti hak prioritas berupa surat permohonan pendaftaran beserta tanda penerimaan permohonan tersebut juga memberikan penegasan tentang tanggal penerimaan permohonan. Bukti hak prioritas tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang penerjemahannya dilakukan oleh penerjemah yang disumpah. 

Apabila ketentuan maksimal enam bulan tidak dipenuhi, maka paling lama tiga bulan setelah berakhirnya hak mengajukan permohonan dengan menggunakan hak prioritas. Permohonan masih tetap bisa diproses, tetapi tanpa hak prioritas. Bila demikian, maka pendaftaran itu diproses seolah-olah merek tersebut belum pernah terdaftar di Negara lain. Dengan demikian proses pendaftarannya mengikuti pendaftaran hak merek yang baru didaftarkan untuk pertama kalinya. 

Syarat dan Tata Cara Permohonan 
Pada Pasal 7 sampai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, diatur mengenai persyaratan administrasi mengenai syarat dan tata cara permohonan. Bila tidak lengkap, batas waktunya dua bulan sejak tanggal pengiriman (berdasarkan stempel pos) surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. Bila lewat dua bulan, dianggap permohonan ditarik kembali. Permohonan pendaftaran masih bisa dilakukan ulang, dengan kelengkapan persyaratan. 

Mengenai perubahan atas permohonan pendaftaran Merek, bisa dilakukan dengan syarat bahwa perubahan tersebut hanya meliputi identitas pemohon pendaftaran merek tersebut. Membatalkan atau menarik permohonan pendaftaran merek bisa dilakukan juga oleh pemohon atau kuasanya, dengan catatan segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal tidak dapat ditarik kembali. 

Berdasarkan pada isi Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dalam hal pendaftaran merek, pejabat yang ahli dari Direktorat Jenderal melakukan pemeriksaan subtantif terhadap permohonan. Hasil pemeriksaan tersebut permohonan bisa disetujui, yang diumumkan dalam Berita Resmi Merek, bisa juga tidak dapat didaftar atau ditolak. Bila tidak dapat didaftar atau ditolak, maka pemohon atau kuasanya bisa menyampaikan keberatan atau tanggapan dengan menyebutkan alasan. Bila pemohon atau kuasanya tidak menyampaikan keberatan, dianggap menerima hasil pemeriksaan. Bila diterima, maka diumumkan dengan Berita Resmi Merek, bila ditolak, maka diberi keputusan dengan menyebutkan alasan. 

Suatu permohonan, apabila permohonan disetujui untuk didaftar, waktunya sepuluh hari sejak disetujui untuk didaftar, dan akan diumumkan selama tiga bulan dalam bentuk Berita Resmi Merek, pada sarana khusus yang dengan mudah serta jelas dilihat oleh masyarakat, misalnya papan pengumuman, microfilm, microfiche, CD-ROM, internet dan media lainnya. Dalam Pengumuman tersebut dicantumkan : nama, alamat lengkap pemohon juga kuasa bila ada kuasa, kelas dan jenis barang dan / atau jasa bagi merek yang dimohonkan pendaftarannya, tanggal penerimaan, nama Negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali bila ada hak prioritas, contoh mereknya. Apabila ada pihak yang keberatan dengan merek tadi, maka dalam waktu empat belas hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, Direktorat Jenderal mengirimkan surat berisikan keberatan tersebut kepada pemohon atau kuasanya. Pemohon diberi waktu selama dua bulan untuk memberikan sanggahan terhadap surat keberatan tadi, terhitung sejak tanggal penerimaan salinan keberatan. Sanggahan harus berisi alasan, misalnya bahwa merek tersebut belum dipakai dan atau didaftarkan oleh pihak lain, dan merek itu layak tidak bertentangan dengan Undang-Undang. 

Bila ada keberatan, Direktorat Jenderal mengadakan pemeriksaan kembali, selama dua bulan terhitung sejak jangka waktu pengumuman. Sertifikat Merek bila tidak ada keberatan, diberikan paling lama tiga puluh hari terhitung sejak tanggal permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek. Dalam Sertifikat Merek dicantumkan: nama dan alamat lengkap pemilik merek yang didaftar; nama dan alamat lengkap kuasa (bila ada kuasa); tanggal pengajuan dan tanggal penerimaan; nama negara dan tanggal permohonan yang pertama kali (bila dengan hak prioritas); etiket merek yang didaftarkan; nomor dan tanggal pendaftaran; kelas dan jenis barang dan atau jasa yang mereknya didaftar; dan jangka waktu berlakunya pendaftaran merek.

Hak Pemilik Merek Pada Perdagangan 
Merek sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual merupakan hak milik. Menurut pasal 570 KUHPerdata hak milik adalah: 
“Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan leh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemua itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang, dan dengan pembayaran ganti rugi.” 

Untuk mendapatkan hak atas merek, maka merek tersebut harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intektual pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Merek sebagai hak milik dapat dipindahtangankan dengan cara pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.hal ini diatur dalam pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001. 

Pengalihan hak atas merek wajib dimohonkan pencatatannya pada Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dan permohonan pencatatan pengalihan hak atas merek tersebut disertai dengan dokumen yang mendukungnya. Dokumen yang dimaksud antara lain Sertifikat Merek dan bukti lainnya yang mendukung pemilihan hak tersebut.[2]

Pemilik merek terdaftar memiliki hak antara lain: 
1. Hak menggunakan sendiri; 
2. Hak mengalihkan pada pihak lain; 
3. Hak memberikan izin pada pihak lain untuk mempergunakan merek tersebut; 
4. Hak untuk memperpanjang perlindungan hukum untuk merek tersebut; 
5. Hak untuk menuntut secara perdata maupun pidana; 
6. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tuntutan orang lain baik secara perdata dan pidana. 

Menurut ketentuan pasal 499 KUHPerdata, pengertian benda meliputi barang dan hak. Barang adalah benda material yang ada wujudya karena dapat dilihat dan diraba. Dalam bahasa Inggris disebut tangible goods, misalnya kendaraan, komputer, rumah, tanah. Sedangkan hak adalah benda immaterial yang tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan diraba, dalam bahasa Inggris disebut intanggible goods, misalnya hak milik intelektual, gadai, hipotik, piutag, hak pakai, hak pungut hasil, hak guna usaha.[3] Dilihat dari hal tersebut, merek merupakan suatu bentuk benda immaterial dan menentukan siapa yang berhak atas merek tergantung pada sistem yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sistem-sistem tersebut biasanya dikenal dengan sistem konstitutif dan deklaratif. Sistem konstitutif adalah hak atas merek tercipta atau diperoleh karena pendaftaran terlebih dahulu. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem deklaratif adalah hak atas merek tersipta atau diperoleh karena pemakaian pertama walaupun tidak didaftarkan 

[1] Amadi Miru, 2005, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 9 
[2] Ibid, Ahmadi Miru, hal. 61 
[3] Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 75

GANTI KERUGIAN & PEMULIHAN LINGKUNGAN

Mengenai penyelesaian ganti rugi berdasarkan hukum Indonesia umumnya bersumber pada suatu perjanjian terdahulu(termasuk kedalam quasi kontrak) dan yang bersumber pada perbuatan melanggar hukum. Secara umum dapat dikemukakan bahwa yang disebut di atas adalah berupa ganti rugi sebagai akibat tidak terpenuhinya suatu kontrak (wansprestasi). Akan tampak bahwa antara tidak terpenuhinya suatu perjanjian di satu pihak dan dilakukannya perbuatan melanggar hukum terdapat banyak persamaan dan hubungan satu sama lainnya bahkab tidak jarang keduannya jatuh bersamaan dan hubungan satu sama lainnya bahkan tidak jarang keduanya jatuh bersamaan dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Kedua hal itu dapat mengakibatkan harus terpenuhinya perjanjian atau jika tidak, maka harus baya ganti rugi atau dikembalikannya posisi hukum dan pihak-pihak seperti dalam keadaan semula (restituio ad integrum).[1]

Sebagaimana diatur dalam pasal 1234 sampai dengan pasal 1252 KUH Perdata. Sedangkan yang kedua, dalam keadaan perbuatan yang melanggar hukum tertentu bukan dipenuhinya suatu perbuatan yang dijanjikan tetapi semata-mata terbatas pada penilaian ganti rugi atas perbuatan yang telah menimbulkan kerugian pada pihak lain itu. Istilahnya adalah onrechmatige daad, yaitu bahwa suatu perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah menimbulkan kerugian, untuk membayar kerugian itu (Pasal 1365KUH Perdata). Dalam perkembangannya pengertian perbuatan melanggar hukum ini mengalami perubahan. Pada mulanya sebelum tahun 1919 perbuatan melanggar hukum oleh Hooge Raad hanyalah diartikan sebagai suatu perbuatan yang melaggar hak sujektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hali ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal. Akan tetapi sejak tanggal 31 Januari 1919 Hooge Raad memperluas pengertian perbuatan melanggar hukum, bukan hanya perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan didalam masyarakat baik terhadap diri maupun barang orang lain.[2]

Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan diatur dalam Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH sebagi berikut : 
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. 
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. 
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan. 

Menurut penjelasan pasal tersebut merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: 
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; 
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau 
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 

Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. 


[1] Rachmadi Usman. 1993. Pokok-pokok Hukum Lingkungan Nasional. Jakarta : Akapres, hlm. 98
[2] Ibid,. hlm. 99 

LETTER OF CREDIT

Letter of credit, atau sering disingkat menjadi L/C, LC, atau LOC, adalah sebuah cara pembayaran internasional yang memungkinkan eksportir menerima pembayaran tanpa menunggu berita dari luar negeri setelah barang dan berkas dokumen dikirimkan keluar negeri (kepada pemesan) . 

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 01/M-DAG/PER/1/2009 tanggal 5 Januari 2009, pemerintah mengultimatum pengusaha menggunakan Letter of Credit (L/C) untuk mengekspor produk komoditi berbasis sumber daya alam, diantaranya kopi, minyak sawit mentah (crude palm oil), kakao, karet, produk pertambangan, dan timah batangan. Eksportir yang tidak menggunakan L/C tidak bisa mengekspor komoditi tersebut karena Bea Cukai tidak akan merelease barang tersebut bila di Pemberitahuan Barang Ekspor tidak atau belum mencantumkan nomor L/C. Oleh karena itu, pemerintah memberikan kelonggaran waktu kepada eksportir untuk beradaptasi terhadap aturan wajib LC tersebut selama 2 bulan. 

Letter of Credit bagi penjual (Seller/Exporter) memberikan jaminan akan ketersediaan pembayaran atas barang dan atau jasa yang diserahkan. Dengan telah dibukanya Letter of Credit oleh pihak buyer, seller tidak perlu khawatir mengenai adanya kemungkinan barang dan atau jasa yang diserahkan tidak (kurang) dibayar, sepanjang klausa (Term and Condition) yang tercantum di dalam L/C dipenuhi. Keyakinan tersebut diperoleh dengan adanya penegasan dari pihak bank pembuka L/C bahwa pihak pembeli (buyer) memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar dan dalam hal ini bank pembuka L/C menjamin akan mendibit rekening pihak pembeli, jika pihak penjual menyerahkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Bahkan di Indonesia, penguasaan terhadap sebuah Letter of Credit (L/C), bisa dijadikan dasar permohonan "Kredit Export (KE)" guna memperoleh dana lebih awal dari bank devisa, untuk dipergunakan sebagai modal kerja dalam memproduksi barang yang difasilitasi oleh Letter of Credit tersebut. Tentu saja pihak bank akan mengenakan bunga tertentu atas kredit tersebut, yang biasa disebut dengan bunga diskonto. Sedangkan dari sisi pembeli (Buyer/Importer) memberikan keyakinan bahwa dia/mereka hanya akan membayar seller atas penyerahan barang dan atau jasa yang dipesannya sesuai dengan syarat yang telah disepakati sebelumnya yang akan dituangkan di dalam "Term and Condition" L/C yang akan dibuka. Dalam hal ini bank pembuka hanya akan mendebit rekening buyer, jika bank telah menerima dokumen yang dipersyaratkan. 

Bagi mereka yang berada di bagian accounting maupun keuangan, mengenal dan mengetahui dasar mekanisme kerja letter of credit adalah penting, sehingga dapat diestimasi : “kapan dan bagaimana transaksi sales (jika perusahaan bertindak selaku seller) atau purchase (jika perusahaan bertindak sebagai buyer) akan berakibat terhadap posisi kas perusahaan”. Sedangkan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia export-import, "Letter of Credit" adalah sesuatu yang wajib untuk dikuasai. Bagaimana tidak, atas proses export-import yang menggunakan instrument Letter Of Credit, langkah demi langkahnya harus selalu stick on (berpatokan) pada butir-butir “Term and Condition” yang tercantum di dalam Letter of Credit. Mulai dari : 

a. Packing Instruction : dimension, unit weight, quantity/volume per pack, side/front pack marking,dll 
b. Document Required : Export License, Commercial invoice, Certificate of Inspection, Fumigation Certificate, dll 
c. Shipping Instruction : Nominated Forwarder, Port of Departure, Notify Party, Port of Destination, Consignee Name, dll. 

Penyimpangan (discrepancies) sangat kecil/sepele sekalipun terhadap instruksi (instruction) maupun permintaan (requirement) yang tercantum di dalam “Term and Condition” otomatis mengakibatkan gagalnya realisasi pembayaran atas sebuah transaksi yang di fasilitasi dengan Letter of Credit. Dan ini adalah tanggung jawab mereka-mereka yang berada di bagian Export-Import. 

Dalam sebuah transaksi yang menggunakan Letter of Credit, yang menjadi penentu dasar realisasi pembayaran adalah Dokumen. Sedangkan kondisi barang/jasa yang diperjual-belikan maupun hal-hal lain yang menyangkut kesepakatan seller dengan buyer, adalah diluar tanggung jawab institusi keuangan (dalam hal ini bank), artinya bank pembuka berhak mendebit rekening buyer dan wajib membayarkannya kepada seller melalui bank yang ditunjuk begitu dokumen diterima dalam keadaan lengkap dan sesuai dengan kondisi yang dipersayaratkan, terlepas apakah barang/jasa yang diserahkan dalam keadaan yang sesuai dengan kesepakatan antara buyer dengan seller atau tidak. 

Dalam keadaan yang sederhana suatu L/C menyangkut 3 pihak utama, ialah pembeli, penjual, dan bank pembuka. Secara terperinci pelaku dalam penerbitan L/C meliputi : 
1. applicant (importir) 
2. issuing bank (bank yg menerbitkan L/C) 
3. advising/negotiating bank (bank koresponden eksportir) 
4. beneficiary (eksportir) 

L/C dapat direvisi (amandemen) jika terdapat persyaratan yang tidak disetujui oleh esportir. Misalnya harga lebih rendah atau waktu pengiriman barang terlalu cepat, selain itu dalam suatu mekanisme L/C terlibat secara langsung beberapa pihak ialah: 
1. Pihak langsung 
a. Pembeli, atau disebut juga applicant/account party/accountee/importir/ buyer adalah pihak yang memohon pembukaan L/C dari bank. 
b. Penjual, atau disebut juga beneficiary/party to be paid/exporter/seller/ shipper adalah pihak kepada siapa L/C diterbitkan/diperuntukkan. 
c. Bank pembuka / penerbit L/C disebut juga opening bank/issuing bank/ importer’s bank. Bank pembeli yang membuka/menerbitkan L/C kepada beneficiarey, biasanya melalui pereantaraan bank di negara beneficiary. Bank ini pula yang akan memeriksa dokumen-dokumen untuk memastikan kecocokannya dengan syarat-syarat L/C, mengatur pembiayaan transaksi-transaksi bilamana diminta dan melepaskan dokumen-dokumen L/C kepada pembeli dan meminta pembayaran dari/mendebit rekening pembeli. 
d. Bank penerus L/C, disebut juga advising bank/seller’s bank/foreign correspondent bank adalah bank yang memberitahukan/mengadviskan/ meneruskan L/C dan menegaskan kebenaran/otentikasi dari L/C tersebut kepada eksportir tanpa disertai kewajiban lain. Bank ini dapat juga dimungkinkan sebagai paying bank atau confirming bank, bahkan sebagai issuing bank dalam hal berbeda dengan opening bank. 
e. Bank yang menegaskan/menjamin pembayaran atas L/C, disebut juga confirming bank/foreign corespondent bank adalah bank kedua, biasanya advising bank yang bertingdak sebagai confirming bank, yakni menegaskan kepada beneficiary/eksportir bahwa L/C tersebut otentik dan bilamana importer atau openging bank tidak melakukan pembayaran maka bank kedua ini akan membayarnya. 
f. Bank pembayar atau disebut juga paying bank, adalah bank yang namanya disebutkan dalam L/C sebagai pihak yang melakukan pembayaran kepada beneficiary/eksportir asalkan dokumen-dokumen sesuai dengan syarat-syarat L/C 
g. Bank menegoisasi atau disebut juga negotiating bank adalah bank yang menyetujui untuk membeli wesel (draft) dari beneficiary/eksportir. 
h. Bank yang diminta mengganti pembayaran (me-reimburse) atau disebut juga reimbursing bank . Bilamana antarabank eksportir dan bank importir tidak ada hubungan rekening, maka untuk penyelesaian pembayarannya biasanya ditunjuk bank ketiga. 

2. Pihak-pihak tidak langsung 
a. Perusahaan pelayaran/pengapalan. Perusahaan ini menerima barang-barang dagang dari shipper/eksportir/freight forwarder dan mengatur pengangkutan barang-barang tersebut dan menerbitkan Bill of Lading (B/L) atau surat bukti muat kapal. 
b. Bea dan Cukai / Pabean. Bagi importir, instansi ini bertindak sebagai agen dan akan memberikan izin untuk pelepasan barang-barang bilamana dokumen B/L menunjukkan telah dilakukan pembayaran Bagi eksportir, instansi ini akan meneliti dokumen serta pembayaran pajak dan memberikan izin barang untuk dimuat di kapal 
c. Perusahaan Asuransi, adalah pihak yang mengasuransikan barang-barang yang dikapalkan sesuai nilai yang disyaratkan dengan menerbitkan polis asuransi untuk menutup risiko yang dikehendaki dan menyelesaikan tagihan/ tuntutan kerugian-kerugian. 
d. Badan-badan Pemeriksa (di Indonesia adalah Sucofindo), adalah badan yang ditunjuk pemerintah, yang berwenang dalam pemeriksaan mutu, jenis, jumlah barang dan sebagainya. 
e. Badan-badan Penelitian lainnya yang ditunjukan pemerintah untuk mengeluarkan surat-surat keterangan / sertifikat lainnya bagi barang-barang yang diperdagangkan. 

Dalam konteks transaksi jual-beli dilakukan dengan letter of credit (L/C) sebagai instrumen pembayarannya, maka jika kita membahas tentang pembukaan letter of credit (L/C), kita harus menempatkan posisi kita di sisi impor. Ini karena L/C dibuka oleh pihak importir (disebut juga applicant atau accountee). Pihak yang terlibat selain applicant adalah banknya applicant (issuing bank/ opening bank). Impor sendiri adalah kegiatan mendatangkan barang dari luar daerah pabean suatu negara ke dalam wilayah pabean negara itu. Berikut ini adalah langkah tata cara pembukaan L/C sebagai berikut ; 

1. Ketentuan legalitas 
Untuk dapat membuka L/C, applicant harus memiliki 
a. Angka Pengenal Impor (API) ==> Boleh berupa: API definitif, API Sementara (APIS) yang brlaku selama 2 tahun, API Terbatas (APIT) untuk PMDN atau PMA, APIS/ API Umum untuk kegiatan usaha perdagangan impor yang bertujuan untuk dijual kembali, APIS/ API Produsen untuk kegiatan usaha industri atau produksi yang memerlukan bahan baku dari luar negeri. 
b. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) 
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mempunyai hubungan dagang atau kontrak dengan pihak di luar negeri. Dalam hal ini, importir telah membuat sales contract dengan eksportir 

2. Jaminan (collateral) 
Pembukaan L/C akan menimbulkan kewajiban bagi issuing bank untuk melakukan pembayaran kepada eksportir (beneficiary), karena issuing bank mengambil alih kewajiban importir untuk membayar barang yang dikirim eksportir. Untuk itu issuing bank akan meminta jaminan pembukaan L/C dari importir yang berupa setoran “Marginal Deposit/ MD”. Besarnya setoran MD yang harus disetor importir dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya fasilitas impor yang didapat importir dari banknya. Tanpa fasilitas Importir diwajibkan menyetorkan MD sebesar 100% (full cover) dari nilai L/C yang akan dibuka dalam mata uang yang sama dengan L/C. Setoran MD boleh berupa setoran efektif, saldo diblokir di rekening giro, atau deposito yang diblokir dengan fasilitas atau mendapat fasilitas impor dari banknya, importir dimungkinkan berkewajiban menyetorkan MD tidak secara full cover, melainkan hanya 10 atau 20 persen, tergantung dari klausul perjanjian kredit yang diberikan. Di sini, risiko atas importir diambil alih bank setelah –tentu saja- melalui tahapan analisis kredit. 

3. Aplikasi L/C 
Aplikasi merupakan perintah dari importir kepada bank untuk membuka L/C berdasarkan kesepakatan dengan eksportir yang dituangkan dalam kontrak (sales contract). Aplikasi pembukaan L/C mempunyai fungsi sebagai: 
a. Instruksi untuk melaksanakan sales contract. Karenanya, aplikasi L/C mencerminkan isi sales contract, namun tidak berkaitan dengan kontrak. 
b. Permintaan dan instruksi applicant kepada banknya (issuing bank) untuk menerbitkan L/C dengan syarat dan ketentuan yang dimintanya 
c. Kontrak antara applicant dengan issuing bank 
d. Permintaan kepada issuing bank untuk bertindak mewakili kewajiban membayar kepada eksportir (beneficiary). Dalam hal ini yang dibayar adalah dokumen, bukan barang. 
e. Sepanjang L/C telah diterbitkan atas dasar aplikasi L/C, maka aplikasi L/C dimaksud tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh applicant. 
Data pada formulir aplikasi pembukaan L/C berisi item dan klausul yang diadopsi dari sales contract. Pada gilirannya, data pada aplikasi itu akan dituangkan dalam klausul-klausul L/C. Data pada aplikasi umumnya mencakup item-item sebagai berikut: 
a. Bentuk L/C (harus ‘irrevocable’ atau tidak dapat diubah sepihak) 
b. Nama dan alamat eksportir (beneficiary) 
c. Nilai dan jenis valuta dalam L/C 
d. Cara pembayaran L/C (by payment, negotiation, acceptance, atau deferred payment) 
e. Tenor (at sight atau usance) dan atas nama siapa wesel (draft) akan ditarik 
f. Deskripsi barang, perincian jumlah/ unit, dan harga per unit 
g. Syarat penyerahan barang (terms of delivery) => FOB, CFR, CIF, dll 
h. Dokumen yang diminta beserta rincian rangkapnya (asli dan copy) 
i. Nama pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan 
j. Pengiriman barang sebagian (partial shipment) dan pindah kapal (transhipment) diperbolehkan atau tidak 
k. Tanggal terakhir pengiriman 
l. Tanggal dan tempat jatuh tempo L/C 
m. Tanggal terakhir penyerahan dokumen kepada bank yang dikuasakan untuk memperoleh kepastian pembayaran (latest presentation document) 
n. Apakah L/C dapat dialihkan (transferable) 
o. Jenis sarana komunikasi yang digunakan untuk mengadviskan L/C yang akan dibuka (by mail, telex, atau SWIFT) 
p. Lain-lain yang bersifat khusus 

4. Issuing bank 
Issuing bank adalah bank pembuka L/C. Sebelum L/C dibuka, hal-hal yang harus dipastikan oleh issuing bank adalah: 
a. Importir telah mendapatkan fasilitas impor, bila tidak harus menyetorkan MD sebesar 100% dari nilai L/C yang dibuka (full cover). 
b. Barang yang diimpor applicant tidak termasuk barang yang dilarang 
c. Aplikasi telah ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang berwenang (authorized person) dengan tanda tangan yang cocok dengan specimen pada issuing bank. 
d. Izin impor applicant masih berlaku (valid) 

Jika hal-hal di atas telah dipenuhi applicant, maka issuing bank siap menerbitkan L/C yang dimaksud. Dengan begitu, issuing bank telah berkomitmen untuk: 
a. Mengambil alih kewajiban membayar dari applicant. Beneficiary atau kuasanya hanya dapat meminta pembayaran kepada issuing bank, bukan kepada applicant. 
b. Melakukan pembayaran dengan bilamana dokumen yang diterima dari beneficiary memenuhi syarat dan ketentuan L/C, atau atas dasar persetujuan applicant. 

Letter of credit dapat dibuka menggunakan berbagai sarana, antara lain surat (mail), telex, maupun swift. Di antara semuanya, swift yang paling banyak digunakan karena praktis dan memiliki tingkat keamanan yang relatif lebih terjamin. Secara umum ada beberapa jenis L/C : 
1. Revocable L/C 
Revocable L/C adalah L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh importer tanpa memerlukan persetujuan eksportir. L/C ini mengandung risiko besar bagi eksportir, karena pelunasan atas barang yang dikirim bisa mengalami kelambatan 

2. Irrevocable L/C 
Irrevocable L/C adalah L/C yang dibuka oleh bank devisa untuk eksportir, dimana Opening Bank mengikatkan diri untuk melunasi wesel-wesel yang ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C. L/C tersebut tidak dapat dibatalkan selama jangka waktu yang dimaksud, kecuali dengan persetujuan semua pihak yang terlibat. Pada halaman muka L/C harus dicantumkan dengan jelas kata “revocable” atau “irrevocable”. Bila kata ini tidak ada, maka L/C tersebut dianggap irrevocable atau tidak dapat dibatalkan (UCP-500, Pasal 6 (c)). 

3. Irrevocable Confirmed L/C 
Irrevocable Confirmed L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan atau diubah selama jangka waktu berlakunya, kecuali bila mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dengan L/C itu. L/C ini mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel dan atau penyerahan dokumen pengapalan yang diberikan oleh Opening Bank bersama Advising Bank. 

4. Irrevocable Unconfirmed L/C 
L/C ini sama dengan irrevocable L/C biasa kecuali bahwa L/C ini diadviskan melalui sebuah bank lain yang tidak menyatakan tambahan penanggungan kewajiban apa pun atas L/C tersebut. Kebanyakan L/C yang dibuka oleh bank besar diadviskan oleh bank-bank asing tanpa dikonfirmasikan (unconfirmed). Ini menunjukkan bahwa bank yang menerbitkan L/C tersebut telah cukup dikenal baik kredibilitasnya. Sebaliknya L/C dari bank-bank kecil/belum dikenal kredibilitasnya perlu dimintakan L/C-nya dikonfirmasi oleh bank lain yang sudah dikenal baik. 

Selain jenis-jenis L/C umum di atas, terdapat beberapa jenis L/ C khusus, seperti Revolving L/C, yaitu adalah suatu L/C yang berdasarkan syarat-syaratnya jumlahnya diperbaharui atau dinyatakan berlaku kembali secara otomatis tanpa memerlukan perubahan khusus pada L/C tersebut. Pemakaian ulang dapat dilakukan untuk “waktu” dan “nilai”. 

1. Red Clause L/C adalah L/C yang menguasakan advising, negotiating atau confirming bank untuk memberikan pembayaran di muka kepada benefiacry (eksportir) sebelum pengajuan dokumen-dokumen. Red Clause tersebutdicantumkan pada L/C berdasarkan permintaan khusus dari applicant (importir) dan redaksi kata-katanya tergantung kepada permintaannya. 
2. Transferable L/C adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima untuk mengoperkan atau menguasakan haknya atas L/C itu kepada pihak lain atau eksportir lain yang menyanggupi. Hal ini terjadi misalnya karena penerima L/C pertama bukanlah produsen sendiri. 

Pada hakikatnya back to back L/C ini merupakan dua L/C yang identik, kecuali harganya dan tanggal pengapalan serta tanggal berlakunya L/C. Jenis L/C ini umumnya digunakan dalam kondisi sebagai berikut : 

1. eksportir bukanlah supplier barang-barang ekspor 
2. eksportir tidak mempunyai dana untuk membayar supplier 
3. eksportir tidak ingin supplier mengetahui nama importir asli dan harga-harga barang yang sesungguhnya. 

Oleh karena itu, haruslah dibuat dua L/C yang terpisah tanpa ada indikasi kepada importir asli bahwa kedua L/C tersebut berkaitan. L/C yang pertama atau L/C induk (master L/C) dibuka oleh importir di luar negeri kepada eksportir melalui bank di negara eksportir. Bank eksportir ini dapat bertindak sebagai advising bank atau confirming bank. Berdasarkan pada L/C pertama tersebut eksportir dapat meminta bank eksportir untuk membuka L/C untuk keuntungan supplier. Dalam hal ini maka eskportir menjadi si pembeli (account party) dan supplier menjadi beneficiary. 

Secara singkat dapat diuraikan tata cara pembayaran sebagai berikut ; 
1. Importir meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank. Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini disebut sebagai advising bank atau notifiying bank. Advising bank memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut. Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary. 
2. Eksportir menyerahkan barang ke Carrier, sebagai gantinya Eksportir akan mendapatkan bill of lading. 
3. Eksportir menyerahkan bill of lading kepada bank untuk mendapatkan pembayaran. Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading tersebut kemudian diberikan kepada Importir. 
4. Importir menyerahkan bill of lading kepada Carrier untuk ditukarkan dengan barang yang dikirimkan oleh eksportir.