Rabu, 05 Juni 2013

ARBITRASE

A. Pengertian dan Karakteristik Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda/Prancis), arbitration
(Inggris) dan scidspruch (Germany), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit.
Dalam literatur, dijumpai banyak definisi arbitrase, antara lain:
1. Frank and Edna Elkoury: arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau sederhana yang
dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah
yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil
dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat.
2. Subekti: arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati
keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk
tersebut.
3. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UU Nomor 30 Tahun 1999): arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasrkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dan masih banyak pengertian arbitrase yang lain, yang jika disimpulkan akan tampak
sebagai berikut, bahwa arbitrase adalah:
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil sebuah
keputusan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Arbitrase di Indonesia telah diakomodasi secara jelas dan kuat dalam UU Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

B. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Beberapa keunggulan arbitrase antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa paa pihak
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur
dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Beberapa kelemahan arbitrase antara lain:
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam,maupun masyarakat
bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih
banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti
BANI, BASYARNAS DAN P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara
yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga abitrase yang ada.
3. Lembaga arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa dan kewenangan melakukan
eksekusi putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yag dicapai dalam
arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan
teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme ekstra judicial
arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis seperti kejujuran dan kewajaran.

C. Obyek Sengketa Arbitrase
Adapun objek pemeriksaan arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi
tidak semua sengekta keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, seperti tercantum dalam
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan, akan
tetapi jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk ruang lingkup perdagangan
adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang:
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri
6. HAKI
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian”.

D. Bentuk-bentuk Arbitrase
Pada dasarnya bentuk arbitrase ada 2 jenis, yaitu arbitrase ad hoc (volunteer) dan
arbitrase institusional (permanent). Perbedaan antara kedua bentuk arbitrase ini adalah:
1. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga, sedangkan
arbitrase institusional adalah suatu arbitrase yang dikoordinasikan oleh suatu lembaga.
2. Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan
memutus perselisihan sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula, setelah
memutus sengketa, berakhir pula arbitrase ad hoc ini. Arbitrase institusional adalah
arbitrase yang melembaga dan bersifat permanent sehingga tidak berakhir setelah
memutus sengketa.
3. Arbitrasi ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase sehingga tidak memiliki
aturan tata cara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun tata cara
pemeriksaan sengketa, sedangkan arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan.
4. Arbitrase ad hoc dilakukan setelah sengketa terjadi sedangka arbitrase institusional pada
umumnya dipilih oleh para pihak sebeum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam
perjanjian arbitrase.
Di Indonesia saat ini terdapat 3 lembaga arbitrase, yaitu:
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977, diprakarsai oleh Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (KADIN) guna menyelesaikan sengketa-sengketa perdata, baik
soal-soal perdagangan, industri dan keuangan yang bersifat nasional maupun
internasional.
2. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Sebelum bernama BASYARNAS pada tahun 2003, dulunya bernama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). Pendirian BAMUI diprakarsai Majelis Ulama Indoensia
(MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993, yang mempunyai tujuan yang sama pula untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lainnya, terutama yang berdasarkan pada syariat Islam.
3. P3BI (Panitia Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia)
P3BI didirikan tahun 1996 oleh kalangan bisnis dan dunia usaha dalam rangka
menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara mereka.
Selain itu dikenal pula arbitrase yang berskala internasional seperti Court of Arbitration of
the International Chambers of Commerce (ICC), The International Centre of Settlement of
Investment Disputes (ICSID) dan The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL).

E. Perjanjian Arbitrase
Penggunan arbitrase mensyaratkan dibuatnya perjanjian tertulis terlebih dahulu dari para
pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999). Pasal 1 angka 3
menyebutkan “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Dari rumusan Pasal 1 angka 3 ini dapat disimpulkan kalau perjanjian arbitrase timbul
karena adanya suatu kesepakatan berupa:
1. Klausula arbitrase yan tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo)-Pasal 7 dan 8 UU Nomor 30 Tahun
1999.
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa
(acta compromise)-Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999.
F. Penunjukan dan Pengangkatan Arbiter
Arbiter sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 30 Tahun 1999
adalah “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.
Mengenai persyaratan arbiter diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999
yang meyebutkan “Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun”.
Dalam ayat (2) nya disebutkan “Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya
tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”

PERBEDAAN UU NO 15 TAHUN 2002 DENGAN UU NO 25 TAHUN 2003

Perbedaan UU No. 15 tahun 2002 dengan UU No. 25 tahun 2003
1. Pengertian Cakupan Penyedia jasa keuangan
UU No. 15 tahun 2002
Penyedia Jasa Keuangan  diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
Adapun yang dimaksud dengan :
a.    bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan
b.    lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.
c.    efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal.
d.    pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
e.    dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun.
f.     perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asuransi.

UU No. 25 tahun 2003
Cakupan pengetian penyediaan jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyediaan jasa keuangan yang ada dimasyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk jasa keuangan baru yang belum diatur dalam UU no. 15 tahun 2002
2. Macam-macam Transaksi
UU No. 15 Tahun 2002
a.    Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
b.    Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
c.    Transaksi tunai

UU No. 25 Tahun 2003
a.    Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana
b.    Transaksi kumulatif
3. Pembatasan Jumlah hasil tindak pidana
            UU No. 15 Tahun 2002
            Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secaralangsung atau tidak langsung dari kejahatan
a. korupsi;

b. penyuapan;

c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja;

e. penyelundupan imigran;

f. perbankan;

g. narkotika;

h. psikotropika;

i. perdagangan budak, wanita, dan anak;

j. perdagangan senjata gelap;

k. penculikan;

l. terorisme;

m. pencurian;

n. penggelapan;

o. penipuan,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

           UU No. 25 Tahun 2003

           pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar lima ratus juta rupiah atau lebih, atau nilai yang setara diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsif yang berlaku umum bahwa untuk menetukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besa atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
a. korupsi
b. penyuapan
c. penyelundupan barang
d. penyelundupan tenaga kerja
e. penyelundupan imigran
f. perbankan
g. narkotika
h. psikotropika
i. perdagangan budak, wanita, dan anak
j. perdagangan senjata gelap
k. penculikan
l. terorisme
m. pencurian
n. penggelapan
o. penipuan
p.Pemalsuan uang
q.Perjudian
r.Prostitusi
s.Dibidang perpajakan
t.Dibidang kehutanan
u.Dibidang lingkungan hidup
v.Dibidang kelautan
w.Pasar modal
x.asuransi
y.tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara selama 4 tahun atau lebih

4. perluasan tindak pidana asal
UU No.25 Tahun 2003
Cakupan tindak pidana asal diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan itu tidak dipidana
Berbagai per-UU yang terkait tindak pidana asl antara lain :
·         UU no.5 tahun 1997 tentang Psikotropika
·         UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
·         UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentamg perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

·         UU No. 30 tahun 2002 Tentang KPK

HAPUSNYA HAK NEGARA UNTUK MENUNTUT PIDANA

KUHP memuat 4(empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana yaitu :
1.      Perbuatan yang telah diputus dengan putusan yang telah menjadi tetap. (Pasal 76)
berdasarkan pertimbangan apakah maka neninggalnya si pelaku dimasukkan sebagai salah satu peyebab gugurnya hak untuk menuntut hukuman berdasarkan atas pertimbangan bahwa suatu kesalahan itu hanyalah berasal dari perbuatan yang tertentu yang dilakukan oleh orang yang tertentu pula karena itu kesalahan tersebut bersifat pribadi selalu melekat pada pelakunya sehingga yang harus mempertanggungjawabkan hanya pelakunya yang bersangkutan tak dapat digantikan, atau diwariskan kepada orang lain siapapun dia orangnya akibatnya kalau si pelaku meninggal sebelum kesalahannya dituntut maka dengan sendirinya hak untuk menuntut pertanggungjawaban atas kesalahan itu menjadi gugur karena orang yang harus bertanggungjawab tidak ada lagi.
2.      adanya asas hukum ”Ne bis in idem” (pasal 76 KUHP)
”Ne bis in idem” secara harfiah berarti tidak dua kali dalam hal yang sama jadi asas ”Ne bis in idem” ialah suatu asas yang menegaskan bahwa suatu perkara yang sudah mendapatkan keputusan hakim yang mempunyai kepastian hukum tidak dapat digugat kembali untuk kedua kalinya dengan syarat bahwa perkara tersebut :
  • sama pelakunya
  • sama perbuatannya/ kesalahannya
  • atas kesalahan pelaku tersebut sudah ada vonis hakim yang tetap
suatu keputusan hakim dikatakan sudah mempunyai keputusan hakim yang pasti maksudnya tidak ada lagi upaya hukum lain yang diajukan untuk membantah atau menolak putusan tersebut hal ini mengandung arti pula bahwa para pihak yang berperkara sudah saling menerima/ menyetujui putusan hakim tersebut.

3.      sudah daluwarsa atau sudah lewat waktu/kesempatannya untuk menuntut (pasal 78 KUHP)
Menurut pasal 78 ayat 1 KUHP menuntut hukuman gugur setelah jangka waktu atau daluwarsa :
  1. 1 tahun bagi segala pelanggaran dan kejahatan yang mempergunakan dengan percetakan
  2. 6 tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan/ penjara yang tidak lebih dari 3 tahun.
  3. 12 tahun bagi segala kejahatan yang dihukum penjara sementara yang lebih dari 3 tahun
  4. 18 tahun bagi semua kejahatan yang terancam hukuman mati/ seumur hidup.
4.      penyelesaian perkara diluar sidang (pasal 82 KUHP)
Penyelesaian perkara diluar sidang adalah suatu penyelesaian perkara yang hanya dapat dilaksanakan atas perkara yang ancaman hukuman pokoknya hanya denda saja yang selain perkara-perkara semacam ini semuanya harus diselesaikan menurut sidang menurut pasal 82 KUHP ayat 1 penyelesaian perkara diluar sidang itu dilaksanakan dengan pembayaran denda maksimum untuk hukuman atas kesalahan yang bersangkutan ditambah dengan ongkos perkara oleh pelaku kesalahan tersebut berdasarkan kemauan sendiri dengan izin JPU.
Dan ada yang diatur diluar KUHP sebagai berikut :
1.      amnesti dan abolisi dari presiden (pasal 4 UUD 1945)

Amnesti merupakan pencegahan penuntutan atas beberapa orang/ segerombolan orang yang telah melakukan kesalahan sebelum penuntutan tersebut belum dilaksanakan. Abolisi merupakan penghentian penuntutan yang sudah berjalan atas diri seseorang/ beberapa orang yang telah melakukan kesalahan baik amnesti/ abolisi merupakan hak preogratif/ hak istimewa kepala negara berdasarkan UUD 1945 untuk mencegah atau menghilangkan penuntutan atas diri seseorang/ orang-orang tertentu yang telah melakukan kesalahan.   

TINDAK PIDANA ABORSI

Pengertian Tindak Pidana Pengguguran Kandungan / Aborsi Dalam berbagai litelatur pengertian tentang tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi berbeda-beda akan tetapi memiliki suatu makna yang sama mengenai pengertian tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi, termasuk dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
kitab undang-undang hukum pidana seperti judul yang diberikan oleh penulis di atas yang menurut Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian utamanya :
Dalam bagian title XIV Buku II KUHP tentang kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan (misdrijven tegen de zeden) termuat pasal 299 yang melarang suatu perbuatan yang mirip dengan abortus, tetapi tidak dengan penegasan bahwa harus ada suatu kandungan yang hidup. Pasal ini berbunyi :

(1)   Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau  menyuruh seorang perempuan supaya diobati dengan memberi tahu atau menimbulkan pengharapan, bahwa karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamnya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah.
(2)   Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau kalau melakukan kejahatan itu ia jadikan pekerjaan sehari-hari (beroep) atau kebiasaan, atau kalau ia seorang dokter, bidan atau tukang obat, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya.
(3)   Kalau kejahatan ini dilakukan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, maka boleh dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaan itu.
Tindak pidana ini sangat luas. Di atas sudah dikatakan bahwa tidak perlu ada kandungan yang hidup. Bahkan, tidak perlu bahwa benar-benar ada seorang perempuan yang hamil. Cukuplah apabila pada seorang perempuan ditimbulkan harapan bahwa kehamilan yang mungkin ada akan dihentikan dengan pengobatan ini.
Dengan demikian, pasal 299 ini sangat bersifat preventif untuk dapat lebih efektif memberantas abortus.[1]

dalam penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi tidak perlu adanya kehamilan akan tetapi yang jelas diterangkan di atas bahwa minimal apabila ada bujukan, rayuan atau pengharapan bahwa kehamilan dapat dihentikan dengan cara tersebut. Sehingga berdasarkan perkembangan hukum tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi tidak harus adanya kehamilan akan tetapi minimal adanya bujukan, rayuan atau pengharapan yang mengatakan bahwa kehamilan bisa duhentikan dengan cara tersebut sudah merupakan tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi. Sehingga ini dapat menjadi acuan bagi penegak hukum sebagai bahan pembuktian terhadap maraknya tindak pidana pengguguran anak / aborsi.
Sementara itu dalam litelatur lain disebutkan bahwa tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi juga mengandung unsur adanya  mengobati seseorang perempuan atau menyuruh seorang perempuan agar supaya diobati. Menurut Moch Anwar menuturkan sebagai berikut :
Perbuatan mengobati seseorang perempuan adalah setiap perbuatan pengobatan pada seorang perempuan yang langsung mengenai seorang perempuan secara fisik maupun yang hanya mengenai pemberian obat-obat yang dapat dimakan. Antara pelaku dan perempuan itu tidak perlu ada hubungan langsung secara peribadi, sehingga obat-obatan yang harus dimakan atau diminum oleh perempuan itu dapat diberikan kepada perempuan itu melalui orang lain.
Menyuruh mengobati seorang perempuan adalah orang lain melakukan pengobatan kepada seorang perempuan; perbuatan itu dilakukan oleh seorang yang melakukan pengobatan itu.
Menyuruh mengobati seorang perempuan terjadi, apabila orang yang memberikan harapan pengguguran kandungan, melakukan pengobatan; orang lain (pelaku material) yang melakukan digerakkan atau dibujuk dengan sarana tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 untuk melakukan pengobatan itu.[2]

Berdasarkan penjelasan di atas berarti tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi yang dilakukan dengan pemberian obat tidak harus pelaku si pemberi obat bertemu dengan sang ibu akan tetapi walaupun melalui perantara si pemberi obat juga dapat dikenakan sanksi pidana terhadap tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi sehingga dapat diterapkan oleh para penegak hukum dalam prakteknya.
Sedangkan menurut penjelasan dalam KUHP karangan R.Soesilo sebagai berikut : “Kejahatan dalam pasal ini menjadi selesai. Segera sesudah dimulai dengan obat itu telah diberikan, pemijatan telah dilakukan, jika hal itu telah diberitahukan, atau telah menimbulkan harapan, bahwa kandungan itu “dapat digugurkan””.[3]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas kita dapat mengetahui apa yang dinamakan tindak pidana pengguguran kandungan / aborsi.


[1] Wirjono Prodjodikoro. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, hlm. 75-76.

[2] Moch. Anwar. 1981. Hukum Pidana Bagian Khusus (Kuhp Buku II) Jilid II. Bandung: Alumni, hlm. 246.

[3] R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, hlm. 218.
  

ASAS-ASAS UMUM SISTEM PERADILAN PIDANA

asas-asas umum sistem peradilan pidana tersebut kita lihat dalam pembahasan berikut:
1.      Persamaan Di Muka Hukum (Equality Before The Law)
Setiap orang harus diperlakukan sama di setiap proses hukum. Agama, ras, warna kulit, etnis, status sosial dan ekonomi tidak boleh menjadi dasar perlakuan diskriminatif. Tetapi pada kenyataannya asas ini tidak berlaku dalam sistem peradilan pidana kita. Dalam proses peradilan di pengadilan bukan rahasia umum lagi jika yang menjadi tersangka adalah orang yang berkuasa atau mempunyai kedudukan yang penting dan mempunyai ekonomi yang kuat sering mendapat perlakuan lebih di pengadilan dari pada masyarakat biasa yang menjalani proses peradilan di pengadilan.
2.      Proses Hukum Yang Adil (Due Process Of Law)
Negara sebagai pemegang kekuasaan penuh untuk melakukan proses peradilan, harus dibatasi supaya tidak terjadi penyalah gunaan. Inilah yang diinginkan oleh asas ini proses hukum yang adil akan tetapi dalam prakteknya acapkali asas ini hanya merupakan semboyan belaka. Masyarakat yang ingin mencari keadilan di pengadilan sering kali berakhir kecewa karena ia harus dihukum untuk suatu kejahatan yang tidak dilakukannya sementara itu pelaku sebenarnya bisa bebas berkeliaran tanpa dihukum.
3.      Sederhana Dan Cepat (Simplicity And Expediency)
Yang diinginkan oleh asas ini adalah proses yang tidak berbelit-belit dan prosedur yang jelas sesuai dengan keperluan. Tetapi pada prakteknya proses dalam pengadilan memakan waktu yang lama dan berbelit-belit yang sering menyebabkan masyarakat dirugikan baik materi maupun moral dalam proses pengadilan untuk mencari keadilan.  
4.      Efektif Dan Efesien
Dalam sistem peradilan pidana bertujuan berdayaguna dan berhasilguna memberikan manfaat kepada masyarakat untuk mencari keadilan tetapi pada kenyataannya pengadilan justru menyusahkan masyarakat. Seharusnya di pengadilan memperkerjakan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional akan tetapi pegawai-pegawai di dalam lembaga-lembaga sistem peradilan pidana sama sekali tidak berkualitas dan profesional, bahkan sering terkait dengan tersangka kasus-kasus pidana itu sendiri. Dalam sistem peradilan pidana kita diatur untuk menggunakan sumber dana dengan hemat dan cermat dalam prakteknya jika pengadilan digelar sering kali memakai biaya yang tidak sedikit dimana keperluan tersebut tidak jelas digunakan oleh oknum-oknum di pengadilan tersebut yang tidak bertanggung jawab.   
5.      Akuntabilitas
Peradilan pidana memiliki tanggung jawab mendasar terhadap kepentingan rakyat. Sejauh mana tindakan atau putusan yang dikeluarkan peradilan (pidana) bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Saat ini peradilan tengah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan citranya di masyarakat. Para penegak hukum adalah pelayan masyarakat yang diberikan wewenang oleh publik dan oleh karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Akan tetapi pada kenyataannya para penegak hukum di negara kita sama sekali tidak bertanggung jawab jangankan bisa menegakkan hukum meminimalisir pelanggaran hukum saja susah. Kemudian selain tanggung jawab ketaatan pada aturan yang berlaku juga sangat diinginkan oleh asas ini namun para penegak hukum kita malah berlomba-lomba melanggar aturan yang berlaku demi mencapai keinginannya. Selain kedua hal di atas prosedur yang jelas, adil dan layak juga yang diharapkan oleh asas ini namun pada kenyataanya penegakan hukum di negara kita selain acapkali pencari keadilan di pengadilan sering dibuat suatu prosedur yang tidak jelas untuk beracara di pengadilan juga sering pengadilan menjatuhkan putusan yang tidak adil itu sendiri dan sama sekali merugikan pihak yang ingin mendapatkan keadilan karena adanya kekuasaan dan uang orang bisa lepas dari jerat hukum. Selain tiga hal di atas mekanisme kontrol yang efektif dan ketransparansi dalam badan peradilan sangat diharapkan oleh asas ini. Namun sering kali mekanisme kontrol terhadap sistem peradilan pidana di negara kita ini tidak mampu menjalankan funsi kontrolnya sebagaimana mestinya dan membiarkan peradilan pidana kita menjalankan lembaganya secara sembarangan. Serta tidak adanya transparansi dalam lembaga-lembaga sistem peradilan pidana dalam menjalankan fungsinya masing-masing sehingga sering terjadi miss komunikasi antar lembaga dalam sistem peradilan pidana.
Setelah melihat bagaiman penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana kita kita berlanjut kepada pembahasan bagaimana mekanisme kontrol yang dijalankan terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam sistem peradilan pidana.
Mekanisme kontrol diperlukan karena kewenangan tanpa batas akan mengancam aturan dalam hukum. Mekanisme kontrol dilakukan secara internal dan eksternal baik secara vertikal maupun horisontal. Mekanisme kontrol internal dilakukan secara horizontal dalam tubuh instansi itu sendiri, sedangkan mekanisme kontrol eksternal dilakukan baik oleh masyarakat maupun antar subsistem dalam sistem peradilan pidana.
Pengawasan atau kontrol dalam organisasi dan birokrasi biasanya dipilah dalam dua kategori seperti dijelaskan di atas, yaitu kontrol internal dan eksternal. Dalam mekanisme internal, pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan seorang atasan kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai pengawasan melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal pengawasan dilakukan oleh organ-organ dengan fungsi pengawasan yang kedudukannya terlepas dari anggota atau organisasi yang diawasi.[1]  
Tujuan kontrol itu sendiri meniadakan atau mengurangi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan dan terjaminnya terlaksananya asas-asas umum sistem peradilan pidana kita. Mekanisme kontrol itu harus dilakukan secara rasional, profesional, dan objektif. Agar terciptanya suatu tatanan sistem yang rapi dan bebas dari pelanggaran aturan. Yang ketiga tujuan kontrol ini untuk merumuskan dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku sehingga ada suatu aturan yang jelas terhadap pelanggar ketentuan yang berlaku sebagai fungsi kontrol terhadap sistem peradilan pidana.



[1] Lihat: Buku Anthon F. Susanto. Yang mengutip dalam buku Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983,
 hlm. 52. 

HUKUM PAJAK

  • Definisi2 pajak
    1. Prof. Dr. PJA. Adrian
Pajak adalah iuran pada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan2 dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjukkan dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran2 umum  berhubungan dengan tugas pemerintahan.
    1. Dr. Soeparman Soemahamidjaya
Pajak adalah iuran wajib,berupa uang/barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma2 hukum menutupi biaya produksi barang2 & jasa2 kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
    1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro
Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasrkan uu & dapat dipaksakan,yang langsung dapat ditunjuk & digunakan untuk membiayai pembangunan.
·         Pajak harus memenuhi 4 unsur :
1.      dipungut oleh Negara
2.      berdasarkan peraturan per-uu
3.      tidak mendapat langsung prestasi
4.      digunakan untuk membiayai penyelenggraan Negara
·         Fungsi Pajak
1.      Budgetair
Merupakan sumber penerimaan tersebar dalam keuangan Negara untuk membiayai pengeluaran pemerintahan (gaji pegawai,pembelian alat tulis,tunjangan social,dsb.)
2.      Regulerend(mengatur)
Bahwa pajak sebagai alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi,moneter,social,cultural,maupun dalam bidang politik.
·         Objek Pajak
1.      kebendaan
2.      perbuatan,contoh : jual-beli
3.      peristiwa yang berkaitan dengan hadiah
4.      keadan yang berkaitan dengan penghasilan
·         Subyek Pajak
1.      subjek pajak dalam negeri
a.       orang pribadi yg bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan. Atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
b.      badan hukum yang didirikan/bertempat tinggal di Indonesia
c.       warisan yang belum sebagai satu kesatuan
2.      subjek pajak luar negeri
a.       orang pribadi yg bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan dan badan usaha yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di indonesia yang menjalankan usaha/melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia
b.      orang pribadi yg tidak bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan dan badan usaha yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia bukan dari menjalankan usaha/melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia
3.      orang pribadi mulai subjek pajak sejak dia dilahirkan serta berada di indonesia/bertempat tinggal di indonesia dan berakhir sejak dia meninggal dunia/saat meninggalkan indonesia.
4.      badah hukum menjadi subyek pajak sejak didirikannya/bertempat tinggal di indonesia dan berakhir sejak dibubarkan/tidak lagi bertempat kedudukan di indonesia.
·         Wajib Pajak
Orang atau badan hukum yang memenuhi syarat objektif yang oleh peraturan perpajakan diwajibkan untuk melakukan kewajiban perpajakkan. 
·         Asas pengenaan pajak
1.      domisili
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya,baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.asa ini berlaku bagi wajib pajak dalam negeri.
2.      sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak dan kewarganegaraannya
3.      kebangsaan
pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
·         Retribusi
Pungutan negara berdasarkan peraturan per-uu,orang membayarnya langsung mendapat prestasi dari negara yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara.
·         Unsur retribusi
1.      dilakukan oleh pemerintah
2.      langsung mendapat prestasi
3.      digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara
4.      pemerintah hanya menyediakan fasilitas
·         Sumbangan

Pungutan negara berdasarkan peraturan per-uu yang ditujukan kepada kelompok masyarakat tertentu yang berkepentingan

  • Upaya penyelesaian sengketa pajak
    1. Upaya administratif
Dimana rakyat sebagai pembayar pajak yang berhubungan dengan salah satu pihak yaitu sipemungut pajak (pemerintah)
    1. pengadilan perpajakan
    2. pengadilan umum(apabila telah melanggar ketentuan pidana)
·         Dirjen pajak dapat disengketakan berdasarkan,hal :
1.      surat ketetapan pajak kurang bayar
2.      surat ketetapan pajak tambahan
3.      surat ketetapan pajak lebih bayar
4.      surat pajak nihil
5.      pemotongan/pemungutan oleh pihak ke 3 berdasarkan peraturan per-uu (di ajukan 3bln sejak tanggal surat pemotongan/pemungutan).
·         Kepada bea cukai uu no 10 1995
1.      ketetapan pajak bea cukai mengenai tarif dan pabean untuk perhitungan bea masuk
2.      keputusan atas sanksi administrasi menyangkut denda yang dipersentasi berdasrkan bea masuk
·         Kepala daerah
1.      surat ketetapan pajak daerah
2.      kurang bayar
3.      lebih bayar
4.      tambahan
5.      nihil
6.      pemotongan

Pengadilan pajak (khusus)
  • Letak Khususan :
    1. Penyelesaian sengketa pajak memerlukan tenaga2 hakim khusus(ahli dalam perpajakan)
    2. sengketa khusus sengketa pajak
    3. putusan pengadilan pajak
  • Alat Bukti
    1. surat/tulisan ketetapan pajak
    2. keterangan ahli
    3. keterangan para pihak
    4. pengakuan para pihak
    5. putusan
  • Peraturan per-uu mengenai perpajak
    1. uu no 12 tahun 85 ttg PBB
    2. uu no 12 tahun 94 ttg perubahan atas uu no 12 tahun 85 tentang PBB
    3. uu 21 tahun 1997 tentang bea perolehan atas tanah dan bangun (BPHTB)
    4. uu no 20 tahun 2000 tentang perubahan atas uu no.12 tahun 1997 tentang BPHTB
    5. uu no 13 tahun 1985 tentang bea matrai
·         Dasar hukum pajak pada UUD 45   Pasal 23
·         Uu no 12 tahun 85 ttg PBB
Ø  Bumi meliputi :
1.      permukaan bumi
2.      tubuh bumi
3.      perairan
Ø  Bangunan adalah konstruksi teknik yang melekat secara tetap pada bumi
Ø  Obyek PBB
1.      Bumi
2.      Bangunan
3.      Bumi & Bangunan
Ø  Subyek
1.      Orang
2.      Badah hukum
(yang secara nyata menikmati bumi & bangunan)
Ø  Contoh soal PBB
Tarif pajak = 0,5 %                 NJKP = 20 %
NJOPTKP = Rp.8.000.000,-
Berapa PBB ?
Jawab:
Andi mempunyai tanah dan bangunan seharga Rp.125.000.000,-
PBB = 0,5 % x 20 % x (Rp.125.000.000,00 -   
Rp.8.000.000,00)
                        0,5 % x 20 % x Rp.117.000.000
                     = Rp.117.000,-
Ø  Obyek yang tidak dikenakan PBB
1.      obyek yang digunakan untuk kepentingan umum & tidak untuk mencari keuntungan
                                                                                     I.      Tempat ibadah :mesjid, gereja, vihara,
                                                                                  II.      Kesehatan       : rumah sakit
                                                                               III.      Pendidikan      : madrasah, pesantren
                                                                               IV.      Social              : panti asuhan
                                                                                  V.      Kebudayaan    : candi, museum
2.      digunakan untuk pemakaman,peninggalan purbakala, tau sejenis dengan itu
3.      merupakan hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, taman nasional.
4.      digunkan oleh perwakilan diplomatik, konsulat
5.      digunakan oleh badan/perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menkeu
Ø  Obyek pajak selain bumi & bangunan
1.      jalan tol yang dimiliki perusahaan
2.      jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek milik perseorangan
3.      pagar mewah
4.      sarana olah raga pribadi
5.      taman mewah
Ø  3 Asas PBB
1.      Asas Yuridis
Setiap pungutan harus didasarkan/ dilandasi ketentuan aturan hukum
2.      Asas ekonomis
Dalam pungutan PBB harus Memperhitungkan untung & rugi
3.      Asas finansial
Dalam memungut PBB jangan sampai membuat rakyat menjadi miskin
Ø  2 Asas Menghitung PBB
1.      Self Assesment system
Wajib pajak diberikan wewenang untuk menentukan/menghitung besar pajak yang harus dibayar.
2.      Official Assesment System
Memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang tertuang oleh wajib pajak.
Ø  Teori utang pajak
1.      Hutang pajak Formil
Seseorang badan hukum baru dinyatakan terhutang kalau sudah ada tagihan yang disampaikan kepadanya.(SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG (SPPT) ) (mk subyek pajak berubah menjadi wajib pajak)
2.      Hutang Pajak Materiil
Setiap orang/badan hukum dianggap sudah terhutang PBB manakala ia memiliki/sedang menikmati bumi & bangunan itu (subyek pajak)
Ø  SPOP (SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PJAK)
Digunakan untuk melakukan balik nama terhadap suatu obyek PBB.
Ø  Pembagian hasil PBB
1.      pempus 10 %
2.      Bp 10 %
3.      propinsi 20 %
4.      kabupaten 80 %
contoh soal :
negara menerima PBB sebesar Rp.20.000.000.000,-
berapa pembagiannya
total pajak                                Rp.20.000.000.000,-
pempus      10 % x Rp.20M      Rp.   2.000.000.000,-
Bp             10 % x Rp.18M      Rp.  1.800.000.000,-
Sisa pajak daerah                      Rp.16.200.000.000,-

Prop              20 % x Rp.16.200.000.000,-            =Rp.3.240.000.000,-
Kab              80 % x Rp.16.200.000.000,-
                     =Rp. 12.960.000.000,-
Ø  keringanan pajak pada subyek tertentu
1.      50 %
a.       Lahan pertanian yang lahannya kurang dari setengah hektar
b.      Pensiunan pns
c.       Janda
2.      75 % (seperempat)
Korban kebakaran
3.100 %
Korban bencana alam
                              Contoh soal :
Bayu memiliki sebidang tanah dan bangunan diatasnya.tanah seluas 30 x 10m harga /meter=Rp.500.000,- luas bangunan 10 x 5 tingkat dua /kubik=Rp.5.000.000 dan dikelilingi pagar setinggi 1 setengah meter /meter=Rp.500.000,-.bayu adalah pensiunan PNS
Jawab
Tanah              30 x 10 x Rp.500.000/m
                        = Rp.150.000.000,-
Bangunan        10 x 5 x Rp.5.000.000,- x 2
                        = Rp.500.000.000,-
Pagar               luas tanah + 2x luas bangunan x
tinggi pagar
30 x 10 + 20 x 10 x 1,5
(P+P) (L+L)
50 x 20 x1,5
70m x 1,5m
=105 x Rp.500.000,-
=Rp.52.500.000,-
                                    Total keseluruhan
                                    Tanah + bangunan + pagar
                                    Rp.150.000.000,- + Rp.500.000.000 +
Rp.52.500.000
=Rp.702.500.000,-

PBB : 0,5 % x 20 % x (Rp.702.500.000-Rp.8jt)
           0,5 % x 20 % x Rp.694.500.000,-
         =Rp.694.500,-
Karena pensiunan pns 50 %
   Rp.694.500,- x 50 %
= Rp.347.250,-
Ø  2 % denda keterlambatan /bulan ditung dari besar pajak,Kapan mulai denda pajak sejak 6 bulan setelah menerima SPPT
  • UU no 20 tahun 1997 (BPHTB) -UU 20 tahun 2000 (tentang perubahannya)
Ø  Tentang bea yang harus dibayar oleh orang atau badan hukum yang mendapatkan hak baru atas tanah dan bangunan,dibayar lewat bank milik Negara yaitu :BNI 45,BRI
Ø  Besar nilai BPHTB(Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan) 5%
Ø  Keringan nilai 30 juta tidak dikenakan pajak, tetapi untuk kalsel 20 juta
Contoh soal :
Tuan A membeli tanah kepada tuan B dikaltim denagan harga Rp.35.000.000,-
Jawab:    Rp.35.000.000,00 –  Rp.30.000.000,00 x 5%
                                    = Rp.5.000.000,00 x 5%
                                    =Rp.250.000,00
Contoh soal:
Tanah dengan kwitansi  Rp.100.000.000,00 dengan luas 200m2,data dari kantor PBB harga tanah  disitu /m=Rp.500.000,-
Berapa BPHTB ?
Harga Tanah = Rp.100.000.000,00 (kwitansi)
Harga tanah Rp.500.000,00/m x 200m2=Rp.200.000.000,00 (PBB)
Rp.200.000.000,00 – Rp.30.000.000,00=Rp.170.000.000,00
Rp.170.000.000,00  x 5 % =Rp.8.500.000,00
Contoh soal :
Tuan amat membayar PBB tas rumahnya dikayutang sebasar Rp.200.000,00 rumah dijual kepada ny.lida maulana dengan harga Rp.200.000.000,00
Berapa BPHTB ?
200.000.000,00 + 8.000.000,00 =208.000.000,00
208.000.000,00 – 20.000.000,00 = 188.000.000
188.000.000 x 5% = Rp.9.400.000,00
Contoh soal :
lida dikelayan tengah membeli tanah seluas 200m2 dengan harga Rp.80.000.000,00
PBB yang di bayar Rp.100.000,-
Berapa BPHTB?
PBB : Rp.108.000.000,00 – Rp.20.000.000,00 = Rp.88.000.000,00
Rp.88.000.000 x 5% = Rp.4.400.000,00
Contoh soal :
Ali didenpasar membeli tanah seharga 2.000.000.000,00 luas 1 hektar
Data PBB /m= Rp.1.000.000,00
1 hektar = 10000m
Harga tanah data PBB 10000m x Rp.1.000.000,00/m = Rp.10.000.000.000,00
BPHTB 10.000.000.000,00 – 30.000.000,00=9.970.000.000,00
                      Rp.9.970.000.000,00 x 5% = Rp.498.500.000,00
  • UU No 13 tahun 1985 tentang Bea Matrai
Ø  Bea Matrai adalah pajak tehadap dokumen(kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan pihak2 yang berkepentingan) yang akan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan
Ø  Tarif bea matrai :
1.      Rp.6.000,00 dikenakan atas dokumen/surat:
a.       Surat perjanjian & surat lainnya misalnya : surat kuasa,surat pernyataan,dll (untuk tujuan hukum perdata)
b.      Akte notaris termasuk salinannya
c.       Akte yang dibuat oleh PPAT
d.      Surat yang memuat jumlah yang berharga nominal lebih Rp.1.000.000,00
                                                                                                       I.      Yang menyebutkan penerimaan uang
                                                                                                    II.      Penyimpanan uang dalam rekening di bank
                                                                                                 III.      Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan
e.       Wesel,promes,dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,00
f.       Efek dengan nama & dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya > Rp.1.000.000,-
2.      Rp.3.000,00 dikenakan atas dokumen /surat :
a.       Surat yang memuat jumlah yang berharga nominal lebih Rp.250.000,00 – Rp.1.000.000,-
                                                                                                       I.      Yang menyebutkan penerimaan uang
                                                                                                    II.      Penyimpanan uang dalam rekening di bank
                                                                                                 III.      Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan
b.      Wesel,promes,dan aksep yang harga nominalnya Rp.250.000,00 -  Rp.1.000.000,00
c.       Efek dengan nama & dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya Rp.250.000,00 - Rp.1.000.000,-
d.      Cek & bilyet giro dengan harga nominal berapapun