Selasa, 06 November 2012

PERBARENGAN (CONCURSUS) TINDAK PIDANA

Pengertian Perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.[1] 

Perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI (Pasal 63-71) KUHAP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan 

Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut dengan ajaran, yaitu : 
1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) 
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus  idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang  terberat. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat  diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana  penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281. Dengan sistem absorbsi, maka  diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. 
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana  pokok yang sejenis dan maksismumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan  pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika  dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak  sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana  menurut Pasal 10 KUHP. 
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan  yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan  dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur  secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka  dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan  Pasal 341. 

2. Concursus Realis (Pasal 65-71 KUHP) 
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa  perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu  tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).
Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 
  • Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis,  maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun. 
  • Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan  dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
  • Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem  kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
  • Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan. 
  • Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili  pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.” Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6  tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14  Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka  putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara. Dengan  demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus)-(putusan I) 
3. Perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP) 
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. 
Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah: 

  • harus ada satu keputusan kehendak
  • masing-masing perbuatan harus sejenis 
  • tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. 

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. 
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan  khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. 

Hal demikian dapat disimpulkan sebagaimana gambar berikut ini Abdul Muqtadir Al-haq (pembelajaranhukumindonesia)

[1] Andi Hamzah .2002. Pelajaran Hukum Pidana : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan,Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta:Raja Grafindo Persada, hlm. 109. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims