A. Dasar Pemberatan Pidana Umum
Undang-undang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana Umum,Ialah :
1. Karena jabatan
Dasar Pemberat Pidana Karena jabatan seperti pada pasal 52 KUHP (Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga) yang dasar pemberatnya terletak pada keadaan jabtan dari kualitas si pembuat (pejabta atau pegawai negeri) Mengenai 4 hal dalam melakukan tindak pidana
a) Melanggar suatu kewajiban khusus jabatannya
Contohnya: Seorang Polisi yang diperintahkan bertugas dipos keamanan sebuah bank, maka dia membebani kewajiban khusus yaitu untuk menjaga keamanan dan keselamatan bank akan tetapi dia berkomplot dengan orang lain untuk merampok bank tersebut.
b) Memakai kekuasaan jabatannya
Contohnya: Seorang penyidik karena jabatannya memiliki kekuasaan untuk menangkap dan menahan tersangka, dengan kekuasaan itu dia melakukan penangkapan dan penahan terhadap seseorang namun alasan tidak ada dan merekayasa alasan dari tindakan itu, karena orang tersebut merupakan musuh pribadinya
c) Menggunakan kesempatan karena jabatannya
Contohnya: seorang Polisi yang bertugas mengamankan barang-barang penumpang dari suatu kecelakaan bis, mengambil dengan maksud memiliki segepok uang dari tas seseorang korban
d) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya
Contohnya: seorang polisi yang diberi hak menguasai senjata api, dan dengan senjata api itu dia menembak mati musuh pribadi yang dibencinya.
2. Karena Menggunakan Sarana bendera Kebangsaan
Dirumuskan dalam pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah :
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga”.
Ketentuan ini juga ditambahkan kedalam kuhp berdasarkan uu no.73 tahun 1958 ( lembaran Negara no.127 tahun 1958) karena dari sudut objektif dapat mengelabui orang-orang dapat menimbulkan kesan seolah-olah apa yang dilakukan si pembuat resmi, sehingga dapat mempermudah dan memperlancar si pembuat dalam usahanya melakukan kejahatan. Contohnya Seorang Nelayan Malaysia masuk ke wilyah laut Indonesia untuk mencuri ikan pada saat diwilayah Indonesia, nelayan tersebut menaikan bendera Indonesia dikapalnya.
3. Karena Pengulangan ( Recidive)
Ada 2 arti pengulangan, yang satu menurut masyarakat (sosial) bahwa masyarakat menganggap setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi,disini pengulanggan tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya, dalam hukum pidana tidak hanya dilihat dari berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan uu.
uu sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindakan pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP kita mengatur sebagai berikut :
a. Pengulangan hanya terbatas pada tindakan pidana-pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang disebutkan dalam pasal 486, 487, 488 KUHP, dan
b. Diluar kelompok kejahatan dalam pasal 386, 387 dan 388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindakan pidana khusus tertentu yang dapat menjadi penggulangan, misalnya pasal 216 ayat 3, 489 ayat 2, 495 ayat 2, 501 ayat 2, 512 ayat 3.
Adapun 3 faktor dasar pemberatan pidana ialah :
a. Lebih dari 1 kali melakukan tindak pidana
b. Telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh Negara karena tindak pidana yang pertama,
c. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan
Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum dari tindakan pidana yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 harus memenuhi 2 syarat esensial yaitu :
a. Orang itu harus telah mejalani seluruh atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak Negara untuk menjalankan pidananya belum kadaluwarsa
b. Melakukan kejahatan penggulangannya adalah dalam waktu belum lewat 5 tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan.
Pada syarat yang pertama, disitu disebutkan 4 (empat) kemungkinan, ialah:
a. telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan
b. telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan
c. ditindakan dari menjalani pidana; atau
d. hak Negara untuk menjalankan pidana terhadapnya belum lampau waktu.
Dalam hal syarat “telah menjalani pidana sebagian maupun seluruhnya”, yang artinya hakim harus terlebih dahulu menjatuhkan pidana, persoalan lain yang timbul ialah berhubungan dengan ketentuan pasal 45 (tidak berlaku lagi) atau kini pasal 21 jo 31 dan 32 UU N0. 3/1997, dimana hakim boleh tidak menjatuhkan pidana (maatregel) terhadap anak yang belum berumur 16 tahun ketika ia melakukan Tindak Pidana pasal-pasal tertentu misalnya 489, 490, 492 (menurut pasal 45 KUHP); atau kini telah berumur 8 tahun dan belum 18 tahun atau belum kawin (UU No. 3/1997), yang dinyatakan bersalah karena melakukan Tindak Pidana dengan putusannya menjadi tetap. Oleh karena tindakan tidak sama dengan pidana, yang jika dalam hal ini hakim menjatuhkan tindakan, maka terhadap anak itu tidak ada syarat pengulangan.
Mengenai syarat kedua pengulangan ialah melakukan kejahtan pengulangan dalam waktu belum lewat dalam waktu 5 tahun, Selain pengulangan pada kejahatan-kejahatan tertentu yang disebutkan pada pasal 486, 487, dan 488 yang telah dijelaskan diatas, UU jg mengenal bentuk-bentuk pengulangan yang pada umumnya dengan syarat-syarat dan jumlah pemberatnya yang tidak sama dengna yang disebutkan dalam ketiga pasal itu, dan tersebar dalam beberapa pasal, misalnya 216 ayat (3), 492 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3), 516 ayat (2). Syarat yang tidak sama, ialah jangka waktu tenggang kadaluarsanya lebih pendek dari 5 (lima) tahun, dengan pemberatan yang lain dari ditambah dengan sepertiga, misalnya dengan mengubah jenis pidananya dari denda menjadi kurungan atau mengubah ancaman pidana dengan pidana yang lebih berat yang sama jenisnya.
B. Dasar Pemberat Pidana Khusus
Ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau diatas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai TP tertentu tersebut. Pada pasal mengenai tindak dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap (sempurna) unsure-unsurnya (kecuali seperti pasal 351, penganiayaan), artinya rumusan dalam bentuk pokok mengandung arti yuridis dari (kualifikasi) jenis tindak pidana itu, yang ancaman pidananya berada diantara bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan. Contoh TP jenis tertentu dalam bentuk pokok: dengan kualifikasi pencurian (362), penipuan (378), penggelapan (372), pembunuhan (338), (351 ayat 1), perusakan barang (406), dan lain-lainnya. Sedangkan dalam bentuknya yang diperberat:
1. Dalam jenis/kualifikasi pencurian dirumuskan dalam pasal 363 dan 365;
2. Dalam jenis penipuan tidak ada dalam bentuk yang diperberat tapi ada dalam bentuk yang diperingan (pasal 379);
3. Kualifikasi penggelapan bentuk diperberatnya ada pada pasal 374 dan 375;
4. Kualifiksi pembunuhan ada pada pasal 339 dan 340
5. Kualifikasi penganiyaan bentuk diperberatnya ada pada pasal 351 ayat (2,3);pasal 353 ayat (1,2,3); pasal 354 ayat (1,2), pasal 355 ayat (1,2); 356;
6. Kualifikasi perusakan barang bentuk diperberatnya ada pasal 408, 409, 410.
Bentuk unsur-unsur pemberatan khusus terdiri dari 2 :
1. Tunggal
Contohnya pasal 340 (adanya rencana/ berencana), akibat luka berat (351 ayat 2), akibat kematian (351 ayat 3), berencana (353 ayat 1), sengaja melukai berat (354 ayat 1).
2. Jamak/ Kumulatif
Contohnya di ikuti, disertai atau didahului suatu tindak pidana lain (pasal 339), berencana dan akibat luka berat ( 353 ayat 2), berencana dan akibat kematian ( 353 ayat 3), Pasal 363.
Mencantumkan/ meletakan unsur pemberat khusus dari bentuk pokok suatu jenis tindak pidana, ternyata dilakukan dengan 3 macam cara :
1. Dengan mencantumkannya dalam satu pasal dari rumusan bentuk pokoknya,tetapi pada ayat berbeda contohnya 351 bentuk pokoknya, khusus pemberatnya ayat 2 dan ayat 3
2. Dengan mencantumkan pada pasal diluar pasal/ yang lain dari rumusan bentuk pokoknya, masih dalam kelompok atau bab jenis yang sama
3. menyebutkan dasar pemberat itu dalam pasal lain diluar pasal mengenai jenis tindak pidana yang sama , misalnya pasal 368 dalam bab XXIII pemberatan pada pasal 365 ayat 2 dan 4 (pasal 368 ayat 2) dalam bab XXII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims