Jumat, 08 November 2013

TANAH & SELUK-BELUKNYA (I)

Pengertian Tanah :
Pengertian tanah secara yuridis menurut Boedi Harsono telah diberikan batasan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 1960 (UUPA), yang menyatakan bahwa :

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh  orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

Jadi tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[1]

Hak –hak atas Tanah :
1.       Hak Milik (HM)
Hak milik merupakan hak terkuat atas suatu tanah, dalam arti  hak ini bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak  lainnya. Definisi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA,  “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang  dapat dipunyai orang orang atas tanah dengan mengingat  pertaturan ketentuan dalam pasal 6”.

Hak milik memiliki fungsi ekonomi, yaitu dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 25 UUPA.

Hak milik hapus bila :
a.      tanahnya jatuh kepada Negara :
1.       karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.      karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ;
3.       karena diterlantarkan;
4.      karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2).
b.      tanahnya musnah.
b.
2.      Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha adalah tanah diserahkan kepemilikan kepada  subjek atas tanah lain untuk jangka waktu tertentu dan jika jangka  waktu tersebut telah tercapai, tanah tersebut harus diserahkan  kembali kepada negara.
Ketentuan hukum mengenai hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA yang menetapkan sebagai berikut :
Pasal 28
(1)   Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh  Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2)  Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3)  Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu dapat diperpanjang dengan waktu paling  lama 25 tahun.
Pasal 34
Hak guna usaha hapus karena :
a.      jangka waktunya berakhir;
b.      dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.       dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.      dicabut untuk kepentingan umum;
e.       diterlantarkan;
f.        tanahnya musnah;
g.      ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

3.      Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan  mempunyai bangunan di atas sebidang tanah dan tanah tersebut  bukan kepunyaan dari pemilik bangunan dan jangka waktu  kepemilikannya paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk  jangka waktu paling lama 20 tahun.
Hak guna bangunan hapus karena :
a.       jangka waktunya berakhir;
b.      dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.       dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.      dicabut untuk kepentingan umum;
e.      diterlantarkan;
f.        tanahnya musnah;
g.      ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) UUPA

4.      Hak Pakai (HP)
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut  hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau sesuai  dengan Pasl 41 ayat (1) UUPA yang mendefinisikan hak pakai yaitu  “hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah  yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain  yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan  dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berweang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik  tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau  perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak  bertentangan dengan jiwa ketentuan undang-undang ini.”

Pendaftaran Tanah :

Pengertian Pendaftaran menurut Harun Al Rashid, berasal dari kata cadastre ( bahasa Belanda Kadaster ) suatu istilah teknis untuk suatu record ( rekaman ), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan ( atau lain-lain atas hak ) terhadap suatu bidang tanah[2].

Sedangkan  pengertian Pendaftaran Tanah menurut Boedi Harsono, adalah :
“ Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah  secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau  data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah  tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka menjamin jaminan kepastian hukum di bidang  pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya”.[3]

Pengertian Pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 ayat Peraturan  Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, adalah :
“ Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan,  pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan  data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah  dan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya  bagi bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan  rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Tujuan Pendaftaran Tanah menurut pasal 19 UUPA, adalah  untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah. Tujuan  tersebut kemudian mendapat dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan  Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu : untuk menjamin 
kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, Undnag-Undang Pokok Agraria mengharuskan Pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Kepastian Hukum, dimaksud meliputi :
a. Kepastian subyek ( Pemegang Haknya )
b. Kepastian Obyek ( letak, luas dan batas-batasnya )
c. Kepastian Hak ( jenis hak atas tanahnya )
Secara garis besar tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam  Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, Yaitu :
1.       untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada  pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak  lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya  sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada  pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai tanda buktinya;
2.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang  berkepentingan temasuk pemerintah agar dengan mudah dapat  memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan  hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3.      Untuk terselenggaranya tata tertib administrasi pertanahan

Sistem pendaftaran tanah ini pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu :
a.      Sistem pendaftaran hak yang positif
Sistem pendaftaran hak dikatakan positif jika pendaftaran hak diselenggarakan dengan daftar-daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti: yaitu terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tersebut sebagai pemilik hak atas tanah untuk membuktikan orang tersebut sebagai pemilik hak atas tanah yang sah menurut hukum. Sistem pendaftaran hak yang positif selanjutnya disebut sebagai sistem, yang termasuk dalam sistem ini adalah “sistem grundbudh” dan “sistem torrens”.
b.      Sistem pendaftaran hak yang negatif
Sistem pendaftaran hak disebut negatif, jika pendaftaran hak itu diselenggarakan dengan daftar-daftar umum yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, dalam arti terdaftarnya seseorang dalam daftar umum itu sebagai pemegang hak atas tanah belum membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum.
Sistem negatif ini merupakan kebalikan dari sistem positif, yang umumnya dipergunakan di negara Perancis dan Nederland. Dalam sistem negatif ini jaminan lebih kuat diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang dapat menggugat haknya atas sebidang tanah dari orang yang namanya terdaftar pada buku tanah dalam halnya terjadi suatu kesalahan atau kekhilafan dalam pembuatan buku tanah. Jadi daftar nama tidak mutlak menunjukkan bahwa ia adalah pemilik dari hak atas tanah yang bersangkutan.

Untuk melakukan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah di Indonesia. Dan selanjutnya juga diwajibkan kepada para pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dipunyainya.

Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka pendaftaran tanah ini meliputi :
1.       Kegiatan pendaftaran untuk pertama kali.
Dasar permulaan penyelenggaraan pendaftaran data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian atas data fisik dan data yuridis, penyimpanan daftar umum dan dokumen.
2.      Kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah.
Dalam hal ini kegiatan pendaftaran itu meliputi tentang pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, pendaftaran perubahan data pendaftaran, baik mengenai tanahnya maupun subjeknya.

Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagaimana disebut diatas, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Kedua cara tersebut sebagaiamana terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 pasal 1 butir (10) dan (11), yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilaksanakan secara :
1.       Sistematik. Artinya kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
2.      Sporadik, adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, mengenai suatu objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau keseluruhan secara individual atau massal.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur alat bukti  pendaftaran hak atas tanah menjadi dua, yaitu alat bukti hak baru  dan bukti lama.
a.      Alat Bukti hak baru
Menurut ketentuan pasal 23 PP Nomor 24 tahun 1997,  untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah baru dibuktikan  dengan :
1.    Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang  pemberian hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang  berlaku, apabila hak tersebut berasal dari tanah negara atau  tanah hak pengelolaan.
2.   Asli Akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan  apabila mengenai hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah  hak milik.
3.   Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak  pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
4.   Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf
5.   Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta  pemisahan
6.   pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan. 

Alat-alat bukti tersebut merupakan alat bukti tertulis yang  merupakan alat bukti otentik yang mempunyai kekuatan  pembuktian yang sempurna. Alat bukti yang cukup untuk membuktikan adanya hak yang terkandung dalam surat bukti  dimaksud sehingga orang tidak perlu mengajukan bukti lain.

Kewajiban Kepala Kantor Pertanahan hanya sebatas meneliti  kebenaran formal alat bukti, apakah diterbitkan oleh pejabat yang  berwenang dan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.  

Kebenaran material tidak menjadi tanggung jawab Kepala  Kantor Pertanahan, apabila alat bukti tersebut setelah di  daftarkan dan sertipikat telah diterbitkan ada pihak lain yang  mendalilakan bahwa alat bukti tersebut palsu, atau dibuat karena paksaan, kekilapan, atau penipuan, tidak tanggungjawab pejabat yang mendaftar haktersebut. Pihak lain yang mendalilkan alat bukti cacat hukum dapat mengajukan pembatalan alat bukti ke  Pengadilan dan harus membuktikan adanya cacat hukum.

Apabila alat bukti pendaftaran tersebut dibatalkan oleh putusan  hakim dan telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat dijadikan dasar Kepala Kantor untuk membatalkan pendaftaran hak dan  penerbitan sertipikat.

b.      Alat bukti hak lama
Alat bukti hak lama, menurut Pasal 24 ayat (1) PP No. 24  tahun 1997, adalah sebagai berikut : 
“ Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang  berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti menguasai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis  Keterangan saksi Keterangan dan atau pernyataan yang  bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia Adjukisasi  dan pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor  Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik dianggap  cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak  lain yang membebaninya. ”
Alat-alat bukti tertulis dimaksud dapat berupa :
1.    Grosse akta eigendom yang diterbitkan berdasarkan overschrijving ordonantie ( staatblad 1834-27 ) yang telah  dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan  dikonversi menjadi hak milik.
2.   Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan  overschrijving ordonantie ( staatblad 1834-27 ) sejak  berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah  dilaksanakan menurut peraturan pemerintah No.10 tahun  1961 di daerah yang bersangkutan.
3.   Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan  peraturan swapraja yang bersangkutan atau
4.    Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan  Menteri Negara Agraria Nomor : 9 tahun 1959 atau
5.   Surat Keputusan Pemberian Hak MILIK DARI pejabat yang  berwenang baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA  yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan tetapi telah dipenuhi sesuai kewajiban yang disebut  di dalamnya atau
6.    Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang  dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala adat/ Kepala  Desa/Kelurahan dibuat sebelum berlakunya peraturan  pemerintah ini atau
7.   Akta Pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT  yang tanahnya belum dibukukan atau
8.  Akta ikrar wakaf yang dibuat sebelu atau sejak mulai  berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1997 atau
9.   Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang  tanahnya belum dibukukan atau
10.  Surat penunjukanatau pemberian kaveling tanah pangganti,  tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah  atau
11.Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, pipil, kekekitir dan verponding indonesia, sebelum berlakunya PP No. 10 tahun  1961 atau
12.  Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh  Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau 
13.  Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama  apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal IV  dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi UUPA.

Dalam hal alat bukti tertulis tidak ada sama sekali  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut pembukuan hak  dapat dilakukan perdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 tahun secara berturut oleh  pemohon pendaftaran tanah dan pendahulu-pendahulunya dengan syarat :
1.       Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan  dilakukan secara nyata dan gengan itikad baik selama 20  tahun atau lebih berturut-turut.
2.      Bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah  tersebutselama itu tidak diganggu gugat dan area itu  dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan.
3.      Bahwa hal-hal tersebut diperkuat kesaksian orang-orang yang  dipercaya.
4.      Bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk  mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud pasal 26.






[1] Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan  Pelaksanaannya, Jakarta:Djambatan, hlm. 18 
[2] Harun Al Rashid. 1986. Sekilas TentangJual BeliTtanah (berikut peraturan-peraturan). Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm. 82
[3] Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia,Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta:Djambatan, hlm. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims