Pengertian
Tanah :
Pengertian tanah secara
yuridis menurut Boedi Harsono telah diberikan batasan dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Nomor 1960 (UUPA), yang menyatakan bahwa :
“Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum”.
Jadi tanah dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak
atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.[1]
Hak
–hak atas Tanah :
1. Hak Milik (HM)
Hak milik merupakan hak
terkuat atas suatu tanah, dalam arti hak
ini bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lainnya. Definisi berdasarkan Pasal 20 ayat
(1) UUPA, “Hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang orang atas tanah dengan mengingat pertaturan ketentuan dalam pasal 6”.
Hak milik memiliki
fungsi ekonomi, yaitu dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani
tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 25 UUPA.
Hak milik hapus bila :
a. tanahnya jatuh kepada
Negara :
1. karena pencabutan hak
berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya ;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan pasal
21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
b.
2. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha adalah
tanah diserahkan kepemilikan kepada subjek
atas tanah lain untuk jangka waktu tertentu dan jika jangka waktu tersebut telah tercapai, tanah tersebut
harus diserahkan kembali kepada negara.
Ketentuan hukum mengenai
hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA yang menetapkan sebagai berikut :
Pasal 28
(1) Hak guna-usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2) Hak guna-usaha diberikan
atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika
luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan
tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna-usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak guna-usaha diberikan
untuk waktu paling lama 25 tahun. untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu
dapat diperpanjang dengan waktu paling lama
25 tahun.
Pasal 34
Hak guna usaha hapus
karena :
a. jangka waktunya
berakhir;
b. dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk
kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f.
tanahnya
musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30
ayat (2).
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak guna bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas sebidang tanah dan tanah tersebut bukan kepunyaan dari pemilik bangunan dan
jangka waktu kepemilikannya paling lama
30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun.
Hak guna bangunan hapus
karena :
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk
kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f.
tanahnya
musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36
ayat (2) UUPA
4. Hak Pakai (HP)
Hak pakai adalah hak untuk
menggunakan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau sesuai dengan Pasl 41 ayat (1) UUPA yang
mendefinisikan hak pakai yaitu “hak
untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah
milik orang lain yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berweang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa ketentuan
undang-undang ini.”
Pendaftaran Tanah :
Pengertian Pendaftaran menurut Harun Al
Rashid, berasal dari kata cadastre ( bahasa Belanda Kadaster ) suatu istilah
teknis untuk suatu record ( rekaman ), menunjukkan kepada luas, nilai dan
kepemilikan ( atau lain-lain atas hak ) terhadap suatu bidang tanah[2].
Sedangkan
pengertian Pendaftaran Tanah menurut Boedi Harsono, adalah :
“ Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Negara/Pemerintah secara terus
menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu
yang ada di wilayah-wilayah tertentu,
pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka
menjamin jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya”.[3]
Pengertian Pendaftaran tanah menurut ketentuan
Pasal 1 ayat Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, adalah :
“ Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.”
Tujuan Pendaftaran Tanah menurut pasal 19
UUPA, adalah untuk memberikan jaminan
kepastian hukum hak atas tanah. Tujuan tersebut
kemudian mendapat dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu
: untuk menjamin
kepastian hukum dari hak-hak atas tanah,
Undnag-Undang Pokok Agraria mengharuskan Pemerintah untuk mengadakan
pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Kepastian
Hukum, dimaksud meliputi :
a. Kepastian subyek ( Pemegang Haknya )
b. Kepastian Obyek ( letak, luas dan
batas-batasnya )
c. Kepastian Hak ( jenis hak atas
tanahnya )
Secara garis besar tujuan pendaftaran
tanah dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997, Yaitu :
1. untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk
itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat
sebagai tanda buktinya;
2. Untuk menyediakan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
temasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya
tata tertib administrasi pertanahan
Sistem
pendaftaran tanah ini pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua golongan
yaitu :
a.
Sistem
pendaftaran hak yang positif
Sistem pendaftaran hak dikatakan positif
jika pendaftaran hak diselenggarakan dengan daftar-daftar umum yang mempunyai
kekuatan bukti: yaitu terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tersebut sebagai
pemilik hak atas tanah untuk membuktikan orang tersebut sebagai pemilik hak
atas tanah yang sah menurut hukum. Sistem pendaftaran hak yang positif
selanjutnya disebut sebagai sistem, yang termasuk dalam sistem ini adalah “sistem
grundbudh” dan “sistem torrens”.
b.
Sistem
pendaftaran hak yang negatif
Sistem pendaftaran hak disebut negatif,
jika pendaftaran hak itu diselenggarakan dengan daftar-daftar umum yang tidak
mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, dalam arti terdaftarnya seseorang
dalam daftar umum itu sebagai pemegang hak atas tanah belum membuktikan orang
itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum.
Sistem negatif ini merupakan kebalikan
dari sistem positif, yang umumnya dipergunakan di negara Perancis dan
Nederland. Dalam sistem negatif ini jaminan lebih kuat diberikan kepada pemilik
hak atas tanah yang dapat menggugat haknya atas sebidang tanah dari orang yang
namanya terdaftar pada buku tanah dalam halnya terjadi suatu kesalahan atau
kekhilafan dalam pembuatan buku tanah. Jadi daftar nama tidak mutlak
menunjukkan bahwa ia adalah pemilik dari hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk
melakukan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah
di Indonesia. Dan selanjutnya juga diwajibkan kepada para pemegang hak atas
tanah untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dipunyainya.
Adapun
rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka pendaftaran tanah ini meliputi :
1.
Kegiatan
pendaftaran untuk pertama kali.
Dasar permulaan penyelenggaraan
pendaftaran data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat,
penyajian atas data fisik dan data yuridis, penyimpanan daftar umum dan
dokumen.
2.
Kegiatan
pemeliharaan dan pendaftaran tanah.
Dalam hal ini kegiatan pendaftaran itu
meliputi tentang pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, pendaftaran
perubahan data pendaftaran, baik mengenai tanahnya maupun subjeknya.
Dalam
pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagaimana disebut diatas, dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara. Kedua cara tersebut sebagaiamana terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 pasal 1 butir (10) dan (11), yang
menyatakan bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilaksanakan secara :
1. Sistematik. Artinya kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan.
2. Sporadik, adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali, mengenai suatu objek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa atau keseluruhan secara individual atau massal.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
mengatur alat bukti pendaftaran hak atas
tanah menjadi dua, yaitu alat bukti hak baru
dan bukti lama.
a. Alat Bukti hak baru
Menurut ketentuan pasal
23 PP Nomor 24 tahun 1997, untuk
keperluan pendaftaran hak atas tanah baru dibuktikan dengan :
1.
Penetapan
pemberian hak dari pejabat yang berwenang pemberian hak yang bersangkutan menurut
ketentuan yang berlaku, apabila hak
tersebut berasal dari tanah negara atau tanah
hak pengelolaan.
2.
Asli
Akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada
penerima hak yang bersangkutan apabila
mengenai hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik.
3.
Hak
pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
4.
Tanah
wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf
5.
Hak
milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan
6.
pemberian
hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Alat-alat bukti tersebut merupakan alat
bukti tertulis yang merupakan alat bukti
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna. Alat bukti yang cukup untuk membuktikan adanya hak yang
terkandung dalam surat bukti dimaksud
sehingga orang tidak perlu mengajukan bukti lain.
Kewajiban Kepala Kantor Pertanahan hanya
sebatas meneliti kebenaran formal alat
bukti, apakah diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan peraturan hukum
yang berlaku.
Kebenaran material tidak menjadi tanggung
jawab Kepala Kantor Pertanahan, apabila alat
bukti tersebut setelah di daftarkan dan
sertipikat telah diterbitkan ada pihak lain yang mendalilakan bahwa alat bukti tersebut palsu,
atau dibuat karena paksaan, kekilapan, atau penipuan, tidak tanggungjawab
pejabat yang mendaftar haktersebut. Pihak lain yang mendalilkan alat bukti
cacat hukum dapat mengajukan pembatalan alat bukti ke Pengadilan dan harus membuktikan adanya cacat
hukum.
Apabila alat bukti pendaftaran tersebut
dibatalkan oleh putusan hakim dan telah
berkekuatan hukum tetap, maka dapat dijadikan dasar Kepala Kantor untuk membatalkan
pendaftaran hak dan penerbitan
sertipikat.
b. Alat bukti hak lama
Alat bukti hak lama,
menurut Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 tahun
1997, adalah sebagai berikut :
“ Untuk keperluan
pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal
dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti menguasai adanya
hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis Keterangan saksi Keterangan dan atau
pernyataan yang bersangkutan yang kadar
kebenarannya oleh panitia Adjukisasi dan
pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik
dianggap cukup untuk mendaftar hak,
pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang
membebaninya. ”
Alat-alat bukti tertulis
dimaksud dapat berupa :
1.
Grosse
akta eigendom yang diterbitkan berdasarkan overschrijving ordonantie (
staatblad 1834-27 ) yang telah dibubuhi
catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik.
2.
Grosse
akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan overschrijving ordonantie ( staatblad 1834-27
) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal
pendaftaran tanah dilaksanakan menurut
peraturan pemerintah No.10 tahun 1961 di
daerah yang bersangkutan.
3.
Surat
tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan atau
4.
Sertipikat hak milik yang diterbitkan
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria
Nomor : 9 tahun 1959 atau
5.
Surat
Keputusan Pemberian Hak MILIK DARI pejabat yang berwenang baik sebelum ataupun sejak
berlakunya UUPA yang tidak disertai
kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan tetapi telah dipenuhi sesuai
kewajiban yang disebut di dalamnya atau
6.
Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah
tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh
kepala adat/ Kepala Desa/Kelurahan
dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah
ini atau
7.
Akta
Pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan atau
8.
Akta
ikrar wakaf yang dibuat sebelu atau sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1997 atau
9.
Risalah
lelang yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan atau
10.
Surat
penunjukanatau pemberian kaveling tanah pangganti, tanah yang diambil oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah atau
11.Petuk Pajak
Bumi/Landrente, Girik, pipil, kekekitir dan verponding indonesia, sebelum
berlakunya PP No. 10 tahun 1961 atau
12.
Surat
keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
atau
13.
Lain-lain
bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
II, Pasal IV dan Pasal VII
ketentuan-ketentuan konversi UUPA.
Dalam hal alat bukti tertulis tidak ada
sama sekali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tersebut pembukuan hak dapat
dilakukan perdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 tahun
secara berturut oleh pemohon pendaftaran
tanah dan pendahulu-pendahulunya dengan syarat :
1. Penguasaan dan
penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan
secara nyata dan gengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih berturut-turut.
2. Bahwa kenyataan
penguasaan dan penggunaan tanah tersebutselama
itu tidak diganggu gugat dan area itu dianggap
diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan.
3. Bahwa hal-hal tersebut
diperkuat kesaksian orang-orang yang dipercaya.
4. Bahwa telah diberikan
kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan
keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud pasal 26.
[1] Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
UUPA, Isi dan Pelaksanaannya,
Jakarta:Djambatan, hlm. 18
[2] Harun Al Rashid. 1986. Sekilas TentangJual BeliTtanah (berikut
peraturan-peraturan). Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm. 82
[3] Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia,Jilid I Hukum Tanah
Nasional. Jakarta:Djambatan, hlm. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims