Rabu, 05 Juni 2013

ARBITRASE

A. Pengertian dan Karakteristik Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda/Prancis), arbitration
(Inggris) dan scidspruch (Germany), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit.
Dalam literatur, dijumpai banyak definisi arbitrase, antara lain:
1. Frank and Edna Elkoury: arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau sederhana yang
dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah
yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil
dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat.
2. Subekti: arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati
keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk
tersebut.
3. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UU Nomor 30 Tahun 1999): arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasrkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dan masih banyak pengertian arbitrase yang lain, yang jika disimpulkan akan tampak
sebagai berikut, bahwa arbitrase adalah:
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil sebuah
keputusan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Arbitrase di Indonesia telah diakomodasi secara jelas dan kuat dalam UU Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

B. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Beberapa keunggulan arbitrase antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa paa pihak
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur
dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Beberapa kelemahan arbitrase antara lain:
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam,maupun masyarakat
bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih
banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti
BANI, BASYARNAS DAN P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara
yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga abitrase yang ada.
3. Lembaga arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa dan kewenangan melakukan
eksekusi putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yag dicapai dalam
arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan
teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme ekstra judicial
arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis seperti kejujuran dan kewajaran.

C. Obyek Sengketa Arbitrase
Adapun objek pemeriksaan arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi
tidak semua sengekta keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, seperti tercantum dalam
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan, akan
tetapi jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk ruang lingkup perdagangan
adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang:
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri
6. HAKI
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian”.

D. Bentuk-bentuk Arbitrase
Pada dasarnya bentuk arbitrase ada 2 jenis, yaitu arbitrase ad hoc (volunteer) dan
arbitrase institusional (permanent). Perbedaan antara kedua bentuk arbitrase ini adalah:
1. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga, sedangkan
arbitrase institusional adalah suatu arbitrase yang dikoordinasikan oleh suatu lembaga.
2. Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan
memutus perselisihan sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula, setelah
memutus sengketa, berakhir pula arbitrase ad hoc ini. Arbitrase institusional adalah
arbitrase yang melembaga dan bersifat permanent sehingga tidak berakhir setelah
memutus sengketa.
3. Arbitrasi ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase sehingga tidak memiliki
aturan tata cara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun tata cara
pemeriksaan sengketa, sedangkan arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan.
4. Arbitrase ad hoc dilakukan setelah sengketa terjadi sedangka arbitrase institusional pada
umumnya dipilih oleh para pihak sebeum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam
perjanjian arbitrase.
Di Indonesia saat ini terdapat 3 lembaga arbitrase, yaitu:
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977, diprakarsai oleh Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (KADIN) guna menyelesaikan sengketa-sengketa perdata, baik
soal-soal perdagangan, industri dan keuangan yang bersifat nasional maupun
internasional.
2. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Sebelum bernama BASYARNAS pada tahun 2003, dulunya bernama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). Pendirian BAMUI diprakarsai Majelis Ulama Indoensia
(MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993, yang mempunyai tujuan yang sama pula untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lainnya, terutama yang berdasarkan pada syariat Islam.
3. P3BI (Panitia Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia)
P3BI didirikan tahun 1996 oleh kalangan bisnis dan dunia usaha dalam rangka
menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara mereka.
Selain itu dikenal pula arbitrase yang berskala internasional seperti Court of Arbitration of
the International Chambers of Commerce (ICC), The International Centre of Settlement of
Investment Disputes (ICSID) dan The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL).

E. Perjanjian Arbitrase
Penggunan arbitrase mensyaratkan dibuatnya perjanjian tertulis terlebih dahulu dari para
pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999). Pasal 1 angka 3
menyebutkan “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Dari rumusan Pasal 1 angka 3 ini dapat disimpulkan kalau perjanjian arbitrase timbul
karena adanya suatu kesepakatan berupa:
1. Klausula arbitrase yan tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo)-Pasal 7 dan 8 UU Nomor 30 Tahun
1999.
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa
(acta compromise)-Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999.
F. Penunjukan dan Pengangkatan Arbiter
Arbiter sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 30 Tahun 1999
adalah “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.
Mengenai persyaratan arbiter diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999
yang meyebutkan “Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun”.
Dalam ayat (2) nya disebutkan “Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya
tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims