Senin, 08 Oktober 2012

GANTI KERUGIAN & PEMULIHAN LINGKUNGAN

Mengenai penyelesaian ganti rugi berdasarkan hukum Indonesia umumnya bersumber pada suatu perjanjian terdahulu(termasuk kedalam quasi kontrak) dan yang bersumber pada perbuatan melanggar hukum. Secara umum dapat dikemukakan bahwa yang disebut di atas adalah berupa ganti rugi sebagai akibat tidak terpenuhinya suatu kontrak (wansprestasi). Akan tampak bahwa antara tidak terpenuhinya suatu perjanjian di satu pihak dan dilakukannya perbuatan melanggar hukum terdapat banyak persamaan dan hubungan satu sama lainnya bahkab tidak jarang keduannya jatuh bersamaan dan hubungan satu sama lainnya bahkan tidak jarang keduanya jatuh bersamaan dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Kedua hal itu dapat mengakibatkan harus terpenuhinya perjanjian atau jika tidak, maka harus baya ganti rugi atau dikembalikannya posisi hukum dan pihak-pihak seperti dalam keadaan semula (restituio ad integrum).[1]

Sebagaimana diatur dalam pasal 1234 sampai dengan pasal 1252 KUH Perdata. Sedangkan yang kedua, dalam keadaan perbuatan yang melanggar hukum tertentu bukan dipenuhinya suatu perbuatan yang dijanjikan tetapi semata-mata terbatas pada penilaian ganti rugi atas perbuatan yang telah menimbulkan kerugian pada pihak lain itu. Istilahnya adalah onrechmatige daad, yaitu bahwa suatu perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah menimbulkan kerugian, untuk membayar kerugian itu (Pasal 1365KUH Perdata). Dalam perkembangannya pengertian perbuatan melanggar hukum ini mengalami perubahan. Pada mulanya sebelum tahun 1919 perbuatan melanggar hukum oleh Hooge Raad hanyalah diartikan sebagai suatu perbuatan yang melaggar hak sujektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan, dan dalam hali ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal. Akan tetapi sejak tanggal 31 Januari 1919 Hooge Raad memperluas pengertian perbuatan melanggar hukum, bukan hanya perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan didalam masyarakat baik terhadap diri maupun barang orang lain.[2]

Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan diatur dalam Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH sebagi berikut : 
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. 
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. 
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan. 

Menurut penjelasan pasal tersebut merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: 
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; 
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau 
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 

Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. 


[1] Rachmadi Usman. 1993. Pokok-pokok Hukum Lingkungan Nasional. Jakarta : Akapres, hlm. 98
[2] Ibid,. hlm. 99 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon untuk menanggapi sesuai dengan topik dan bagi yang ingin berteman langsung follow secepatnya akan saya follback selama memiliki konten yang serupa. trims