Dalam politik dikenal macam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi secara umumnya berkisar pada dua Prinsif pokok dan suatu sistem gabungan dari keduanya, yaitu : [1]
a. Sistem Distrik ( single member constituency)
Sistem dimana wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilih (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan untuk dipilih.[2] Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. “Ciri khas dari sistem distrik yaitu bahwa pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh oleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut”.[3] Keuntungan sistem distrik lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan disetiap distrik hanya satu, yang akan mendorong adanya kerjasama dan menyisihkan perbedaan-perbedaan, wakil yang dipilih dapat dikenal karena kecilnya wilayah di setiap distrik sehingga hubungan antara komunitas dapat berjalan dengan baik dan sistem sederhana dan murah untuk diselenggarakan sehingga stabilitas nasional tetap terjaga.[4]
b. Sistem Proporsionalitas ( Multi member constituency )
Pada sistem proporsionalitas atau perwakilan berimbang persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik. Pembagian kursi di badan perwakilan rakyat tersebut tergantung kepada jumlah suara yang didapat partai politik yang ikut pemilihan umum.[5] Varian sistem Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single Transverable Vote, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Jumlah perimbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan apabila ada sisa suara setelah dijumlahkan , maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon pada urutan berikutnya.[6] Sistem proporsional biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan kursi.
c. Sistem Campuran
Merupakan pemaduan antara sistem proporsional dengan mayoritas/pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari masing-masing sistem, varian dari sistem ini adalah “Mixed Member Proportional dan Parallel”. Contoh Kasus beberapa negara yang memakai sistem gabungan ini salah satunya negara Jerman yang pernah menjadi kasus yang paling menarik pada masa lampau dimana memiliki terlalu banyak partai dengan memakai sistem proporsional murni, dewasa ini menggabungkan kedua sistem dalam pemilihan umumnya setengan dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengahnya lagi dipilih dengan sistem proporsionalitas. Menurut Arend Lyphart menjelaskan konsepnya di Jerman dan dibeberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui kebijakan electroral threshold[7] dengan menentukan jumlah suara minimal yang diperlukan oleh suatu partai untuk memperoleh kursi dalam parlemen.
[1] Miriam Budiardjo. 2008. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Edisi Revisi. hlm 461
[2] Jimly Asshiddiqie. 2009. Pengantar ILMU HUKUM TATA NEGARA. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada., hlm 424
[3] Miriam Budiardjo. Op.cit., hlm 465
[4] Ibid, 466
[5] Jimly Asshiddiqie. Op.cit., hlm 425
[6] Ibid. hlm 425-426.
[7] Mariam Budiardjo. Op.cit., hlm 472
tq gun...
BalasHapus